Dinamika Islam dan Rasionalisme: Menuju Masyarakat Ideal

Minggu 16-04-2023,21:55 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

DALAM Islam, posisi rasio sering menuai polemik. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa penggunaan rasio di dalam beragama sangat berbahaya karena dapat menjerumuskan umat kepada segala bentuk penolakan terhadap nilai-nilai sakralisme. Stigma buruk yang ditimpakan kepada akal dan rasio tersebut nampaknya cukup berhasil mempengaruhi cara berpikir kebanyakan umat Islam.

"Jangan dekati agama pakai akal, dekatilah dengan hati," demikian imbauan ini sering kita dengar. Hal ini seakan menjadi stereotip dan pandangan umum di tengah masyarakat muslim.

Padahal sebagaimana diketahui, rasio mempunyai basis teks di dalam Alquran, banyak ayat-ayat yang menegaskan terkait betapa pentingnya rasio. Sebut saja ayat yang berbunyi afala ta’qilun (menggunakan akalmu), afala tatafakarun (memikirkan), bahkan merupakan ijma para ulama bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Iqra (membaca), yang bisa jadi memiliki makna lebih dari sekadar membaca, tapi memahami dan mendalami.

Oleh karena itu, di dalam kajian epistemologi Islam yang dirumuskan oleh Muhammad Abed Al Jabiri, terdapat istilah burhani (pendekatan rasio), sebuah perangkat atau metode dalam menyimpulkan suatu hukum, di samping bayani (pendekatan teks) dan irfani (pendekatan intuisi).

Namun secara faktual, basis burhani/rasio tak cukup mendapatkan tempat di dalam retorika keberagamaan kita. Narasi-narasi kontra rasio pun menghegemonik keilmuan dengan bermacam asumsi yang bersifat reduktifikasi terhadap semangat rasionalitas.

Baca Juga: Idealisasi Agama dan Nasionalisme: Worldview Manusia Indonesia

Persoalan ini semestinya menjadi perhatian serius bagi kaum cendikiawan, karena di depan sana banyak tantangan besar yang harus dihadapi. Tanpa bekal rasionalitas yang mapan, umat akan gagap menghadapi gelombang globalisasi, teknologi, dan modernisme.

Bahkan tak menutup kemungkinan, agama ini hanya dipandang sebagai sebuah warisan mitologi karena muatannya yang tak logis dan tak sesuai dengan perkembangan zaman, dan secara politis sangat rentan disusupi oleh kepentingan tertentu.

Sebenarnya, upaya memperkenalkan Islam dengan wajah rasio-intelektual sudah dilakukan oleh sebagian sarjana muslim Indonesia, sebut saja Nurcholis Majid, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo atau para pembaharu lainnya. Namun gagasan mereka tampak sulit diserap oleh kalangan grassroot, tentu ada beragam faktor kompleks yang melatarbelakanginya.

Pada posisi lain, sebagian agamawan terlihat tidak pernah secara serius atau bahkan terkesan menghindari untuk menggunakan perangkat rasio/burhani, sehingga tak heran bila kebanyakan orientalis secara membabi buta memberikan stigma tendesius terhadap Islam sebagai kumpulan dogma minus akal.

Tampak anomali memang, ketika Islam justru menjadi paradigma yang antagonistik terhadap semangat modernisasi. Cara pandang ini pun kadang dibungkus dengan beragam argumentasi teologis, bahkan tak jarang pendekatan tasawuf pun digunakan demi mendelegitimasi peran akal di dalam beragama.

Baca Juga: Gandrungnya Konten Mualaf di Medsos Pertanda Keberislaman yang Norak

Melihat kenyataan ini, dekonstruksi pemahaman secara fundamental perlu digalakkan agar umat Islam tidak memandang akal dengan kacamata dikotomis, vis a vis dengan agama.

Lalu, bagaimana mentransformasikan gagasan tersebut pada tataran praktis? Hal yang paling mungkin dilakukan adalah pengupayaan secara bertahap dengan menggalakkan ilmu-ilmu logika dan filsafat pada lembaga-lembaga keagamaan. Tentu ini disesuaikan dengan kapasitas si murid.

Hal ini dapat dimulai dari kurikulum yang berbasis metodologis sampai kepada penggunaan rasio secara demonstratif melalui pola-pola aplikatif. Untuk sampai pada tahap tersebut, dibutuhkan sumber daya intelektual yang mapan dari para tenaga pengajar.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler