Perselingkuhan Empirisme dan Wahabisme dalam Ruang Epistemik

Selasa 23-05-2023,14:48 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SURAT cinta di mata kaum penganut empirisme hanyalah sekadar kertas putih dan tinta yang berisi ungkapan rasa belaka, atau tak lebih dari simulasi kerja otak saat sedang menyukai lawan jenis. Bisa jadi surat tersebut akan diletakkan di sembarang tempat, karena tidak berbeda dengan kertas-kertas lainnya. Artinya tidak bernilai secara kuantitatif.

Tetapi, bila surat cinta itu sampai ke tangan bijakawan-spiritualis, tentu akan memiliki makna yang lebih kompleks dan beragam. Menafsirkan kalimat "kau adalah belahan jiwaku", bisa sampai berjilid-jilid penjelasannya. Dan dapat dipastikan surat tersebut akan disimpan di tempat spesial, agar tak tersentuh oleh sembarang tangan.

Karena dalam pandangan para bijakawan, surat tersebut bukan hanya sekadar kertas, tetapi lebih dari itu, merupakan kekuatan mistikal yang mampu mencuatkan energi tak terhingga.

Dari sini kita bisa membayangkan, bila dunia ini hanya dikuasai oleh kaum positivis-empirik, maka tak akan ada kisah-kisah menarik di dalam kehidupan ini, tak ada cerita dongeng untuk menidurkan anak, tak ada lagi panggung-panggung teater, sastra mistik, bahkan saya tidak begitu yakin masih ada pelawak, budaya dan tradisi pun akan terkikis. Semuanya mesti diukur dalam kaidah-kaidah logika dan harus memenuhi standar baku positivis-empirik. Dengan demikian, dunia menjadi tak menarik, kaku seperti robot.

Baca Juga: Seminar Horor di Kalibata

Bahkan bila kita beragama secara empirik, wujudnya pun akan aneh, minimal seperti Wahabi-Salafi. Wahabi itu sangat empirik. Oleh karenanya, mereka menolak segala bentuk praktik ibadah yang dianggap tidak tertulis secara tegas di dalam kitab suci, mereka menyebutnya bid'ah. Atau bahkan lebih jauh, sebagian mereka menganggap bahwa menghormat bendera merah putih merupakan prilaku syirik, karena tak ada tuntutan langsung dari nabi.

Mereka menolak takwil dan penafsiran-penafsiran alternatif lainnya, mereka hanya memakai metode bayani dalam menafsirkan Alquran dan hadis. Maka jangan heran bila mereka berpandangan zat Tuhan ada di atas Arsy, Tuhan memiliki tangan, Tuhan turun ke bumi pada setiap sepertiga malam, termasuk perihal bidadari di surga dan lain-lain. Begitulah wujud beragama secara empirik, tidak menarik bukan??

Hal yang paling unik sekaligus anomali dari ini semua adalah, kaum Positivistik-Emipiris dan kaum Wahabi, sama-sama menolak intuisi sebagai basis epistemologi, karena dianggap terlalu mengada-ngada.

Mereka pun memiliki pendapat serupa bahwa agama dan iman tidak bisa didekati dengan akal, Iman adalah ruang bebas akal. Dengan kata lain, agama dan rasio bersifat antagonistik dan dikotomik. Walaupun tentu dalam hal ini mereka memiliki motivasi dan tendensi yang berbeda pada konteks ungkapan tersebut, namun setidaknya di antara keduanya terdapat benang merah dan kesamaan. Tampaknya mereka melakukan persenggamaan secara tidak sadar.

Baca Juga: Gelojoh Jokowi atas Kuasa

Empirisme mungkin berjasa besar dalam menciptakan aneka kemajuan teknologi dan infrastruktur lainnya, tetapi belum tentu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia yang sangat kompleks.

Kerena hidup ini bukan hanya tentang angka, tapi juga makna. Tidak hanya tentang logika, tetapi juga cinta, dan manusia sejati akan terus mencari makna dan cinta di dalam hidupnya.

Tulisan ini tidak bermaksud menolak empirisme sebagai salah satu basis pendekatan, tetapi pemutlakan secara membabi-buta terhadapnya, jelas tak realistis.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler