Staycation dan Kebudayaan Patriarki

Senin 12-06-2023,14:37 WIB
Reporter : Khalid Syaifullah
Editor : Khalid Syaifullah

Tubuh para pekerja, yang merupakan sarana untuk bekerja dan memproduksi sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dijadikan objek untuk memproduksi komoditi bagi akumulasi kekayaan para kapitalis. Di sinilah mereka merasa asing dari kegiatan produktifnya, hubungan produktifnya, hasil produknya, dan dari kodratnya sebagai makhluk subsisten.

Pada kelanjutannya, Silvia Federici menunjukkan bahwa proses separasi ini tak lain dan tak bukan adalah separasi perempuan dari tubuhnya sendiri. Perempuan, yang sebelumnya menjadi produsen kehidupan, yakni merawat dan mengasuh anak, menyediakan pangan bagi keluarga, penemu awal sistem produksi, dsb ditundukkan ke dalam skema produksi komoditas yang bersifat alienatif. Mereka yang menolak dan melawan, dianggap sebagai ‘penyihir’ (witch) atau sekutu setan. Mereka diburu, ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh.

Maria Mies, dalam salah satu tulisannya, membahas asal-usul separasi dan alienasi perempuan dari tubuhnya itu. Bersandar pada konsep ‘kerja’, Mies mengatakan bahwa kerja subsistensi atau kerja untuk memproduksi dan merawat kehidupan (production of life) adalah dasar utama dari seluruh peradaban manusia. Apa yang dianggap sebagai ‘kerja produktif’ tidaklah terbatas pada kegiatan membuat gedung, sepatu, pakaian, dan komputer saja, sebagai misal, tapi juga mencakup kerja mengandung, melahirkan, dan merawat anak.

https://youtu.be/pxOUQe4zboM

Mengapa? Karena kerja-kerja itu sendiri ditujukan untuk memelihara masa depan manusia (regenerational labour).

Persoalannya adalah ketika kerja memproduksi dan merawat kehidupan oleh perempuan itu dibedakan dari kerja produktif. Pembedaan ini merupakan basis bagi akumulasi kapital. Bagi kapitalis, kerja yang dianggap produktif dan bernilai hanyalah kerja memproduksi komoditi; dan ini diasosiasikan pada laki-laki.

Sementara production of life yang dikerjakan perempuan dianggap tak bernilai sama sekali. Padahal, ketika buruh (lelaki) lelah sehabis bekerja, siapa yang mereproduksi tenaganya? Siapa yang menyiapkan makan dan minum untuknya? Siapa yang membereskan dan membersihkan kamar tidurnya?

Siapa pula yang mencuci dan menyetrika pakaian kerjanya? Agar devaluasi kerja perempuan ini dapat berlangsung dan terpelihara, maka dibutuhkan tatanan nilai dan norma yang mengagungkan kerja memproduksi komoditas di atas segala-galanya dan pengagungan itu diasosiasikan pada seksualitas laki-laki. Kerja perempuan untuk memproduksi dan merawat kehidupan, disubordinasikan ke dalam kerja ‘alamiah’ yang tak perlu dibayar karena alam dianggap sebagai pemberian tuhan secara ‘cuma-cuma’ dan dapat diapropriasi sesuai kehendak manusia.

Dampaknya adalah eksploitasi terhadap perempuan tanpa henti. Sampai dengan saat ini, sudah sering kita dengar anggapan umum yang bilang kalau perempuan itu sudah ‘wayahnya’ di sumur, kasur, dan dapur. Seorang perempuan dikatakan perempuan baik jika mematuhi anggapan umum itu. Mereka yang melawan dianggap perempuan tidak baik.

Tatanan nilai dan norma inilah yang disebut patriarki. Dan tatanan ini sangat terkait dengan devaluasi nilai kerja perempuan sebagai dasar akumulasi kekayaan. Jika patriarki disebut sebagai kebudayaan, maka ini adalah kebudayaan yang mengatur kerja-kerja tak berbayar di dalam sirkuit produksi komoditas.

Baca Juga: Gelojoh Jokowi atas Kuasa

Dan patriarki bukanlah sekedar kebudayaan zaman baheula, yang dalam masa kini hanya bisa kita saksikan dari sisa-sisanya saja. Sebaliknya, patriarki, mengikuti Mies, merupakan elemen simbolik yang sangat fundamental dalam sistem kapitalisme.

Mengapa? Sebab tanpa patriarki, eksploitasi terhadap kerja perempuan tak mungkin terjadi dan akumulasi kapital tak akan pernah ada. Data yang dilansir ILO menyebutkan bahwa 76% dari total kerja merawat keturunan dilakukan oleh perempuan dan ini merupakan sumbangan besar bagi ekonomi dunia hari ini.

Kita mungkin sudah banyak melihat berbagai macam gugatan terhadap pembatasan ruang perempuan. Saat ini, akibat desakan gerakan feminis, sudah banyak perempuan yang bekerja secara formal di banyak tempat. Akan tetapi, di sisi lain, kita juga bisa saksikan wujud patriarki yang juga berkembang di tempat-tempat kerja.

Kisah pelecehan yang dialami AD adalah contohnya. Tubuhnya, yang menjadi salah satu sarana memproduksi kehidupan, didevaluasi. Alat kelaminnya dianggap ‘murah’ sehingga dapat dieksploitasi seenak jidat oleh bosnya. Dan praktik seperti ini dianggap wajar.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler