Menyoal Kerja dan Profesionalitas

Rabu 14-06-2023,20:31 WIB
Reporter : Khalid Syaifullah
Editor : Khalid Syaifullah

BARU-BARU ini sedang viral cuitan tentang ‘kerja dan profesionalitas’ di Twitter. Utasnya cukup panjang, tapi intinya: bila kita sakit saat kerja, berarti kita tidak profesional. Cuitan ini hendak mengajak kita untuk profesional dalam bekerja. Menjaga kesehatan, jasmani dan batin, adalah bentuk profesionalitas. “Tau bakal radang, ya jangan minum es. Tau nanti mencret, ya jangan makan pedes. Badan kerasa gak enak, langsung istirahat atau minum obat. Tau besok kerja pagi, ya weekend istirahat/jangan pulang kemaleman”, kata cuitan itu.

Dengan begitu, maka yang namanya ‘sakit’ itu bisa diprediksi. Tapi, “kita gak akan sakit kalo bisa atur skala prioritas, atur ritme kerja, tau kapan badan harus istirahat dan kapan harus agak di-push”, lanjutnya. Kalau sakit sudah bisa diprediksi (kecuali sakit bawaan), maka saat kita mengalaminya, ya itu murni kesalahan kita.

Membaca cuitan itu, saya cuma cengar-cengir sambil membayangkan nasib teman saya yang menjadi buruh di salah satu NGO terkenal di Jakarta. Kerjanya sangat fleksibel, yang artinya dia bisa tiba-tiba mendapat tugas kapanpun, bahkan ketika akhir pekan. Sejak kerja di situ, dia jarang nongkrong dengan kawan-kawannya. Sekalinya nongkrong, ia pasti selalu membawa laptop dan sibuk membalas chat di grup WhatsApp miliknya.

Saya pernah meledeknya. “Kita mau nyantai bukan mau rapat. Nggak butuh notulen”, ucap saya sambil tertawa. Dia hanya membalas dengan muka agak meringis, “tuntutan kerja zaman sekarang. Kudu standby.” Dia mengaku kalau pekerjaannya itu sering bikin pusing kepala. Pusing karena selalu dihantui ketidakpastian tentang kapan harus kerja dan kapan bisa libur. Belum lagi soal berapa besar beban kerja yang mesti ditanggung. Alhasil, tak jarang si kawan ini mengalami burn out dan sakit.

Baca Juga: Partai Demokrat Menyambut Baik Tawaran Kerjasama dengan PDIP

Apakah si kawan itu tak profesional dalam kerjanya? Apakah ia sakit karena kesalahannya sendiri?

Cerita yang mirip—dan bahkan lebih sadis dari—si kawan itu juga bisa kita temui di tempat lain. Tulisan Myrna Santiago (Work, Home, and Natural Environment, 2012) tentang buruh-buruh di pabrik kilang minyak di Meksiko, misalnya. Paparan bahan kimia dalam dosis besar, suhu yang kelewat panas, dan sanitasi yang sangat buruk di dalam pabrik membuat para buruh sering terjangkit berbagai penyakit. Demam, TBC, dan diare adalah penyakit-penyakit umum yang sering dijumpai para buruh. Bahkan tak sedikit dari mereka yang cacat dan mati.

Kondisi semacam itu terus berlangsung hingga kini. LION Indonesia, melalui publikasinya berjudul Serikat Buruh dan Ancaman Paparan Bahan Kimia (2021), mengatakan bahwa ada setidaknya satu miliar pekerja yang terkena paparan bahan kimia di pabrik setiap tahunnya. Di sepanjang tahun 2000 hingga 2016, telah ada sekitar 450.000 pekerja yang meninggal akibat paparan ini. Mereka meninggal setelah mengidap kanker dan keracunan atau setelah cedera fatal.

Cerita ‘pesakitan’ yang paling baru bisa kita saksikan dari pengalaman para pekerja migran Indonesia di negeri-negeri Asia. Kita mungkin sudah sama-sama dengar pernyataan Menkopolhukam belum lama ini. Ia mengatakan bahwa hampir 2000 jenazah PMI dipulangkan ke tanah air setiap tahunnya. Jenazah-jenazah itu adalah para PMI yang diberangkatkan secara ilegal dan mayoritasnya mengalami penyiksaan sebelum meninggal.

Cerita penyiksaan di kalangan PMI memang bukan cerita baru. Menurut laporan BBC (3/3/2023), dari ribuan kasus yang menimpa pekerja rumah tangga di Malaysia, ratusan di antaranya adalah kasus penganiayaan yang melibatkan penyiksaan. Meriance, seorang pekerja rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur, mengaku selalu disiksa majikannya di Malaysia (BBC, 1/3/2023). Dan siksaannya beragam. Ia pernah dihantam kepalanya dengan ikan beku, dipukul tangan dan kakinya dengan hamar, ditempelkan setrika panas pada badannya hingga pernah dijepit menggunakan tang di bagian payudaranya. Yang lebih parahnya lagi, Meriance tak pernah tahu apa kesalahannya hingga ia mendapat siksaan bertubi-tubi. Setiap hari, yang ia pikirkan hanya satu, yakni bagaimana caranya ia bisa selamat dari kondisi yang ia sebut sebagai ‘neraka’ itu.

Baca Juga: Gelojoh Jokowi atas Kuasa

Tentu masih banyak cerita-cerita lain yang menggambarkan kondisi serupa. Tetapi, dari ketiga cerita yang saya contohkan itu, muncul pertanyaan: bukankah mereka sudah menjalankan tugasnya dengan sesuai dan, oleh karenanya, profesional? Bukankah mereka sakit, dan bahkan mati, justru karena kondisi kerjanya itu? Jika demikian, maka, kerja semacam apa yang dimaksud oleh cuitan di atas? Kerja para selebritis seperti Ahmad Dhani—seperti yang dikutip oleh cuitan itu? Atau kerja-kerja buruh ‘kerah putih’ di SCBD atau Kuningan, Jakarta, yang saban hari berdandan necis, wangi, dan bergaji dua digit itu?

Memang, setiap orang tak selalu mau merespon penyakit di tubuhnya dengan baik. Tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang kondisi kerjanya memang terlampau berat, melelahkan, dan tidak manusiawi, sehingga dengan kondisi itu, ‘sehat’ menjadi barang mahal bagi mereka, seperti ketiga jenis pekerja yang saya contohkan di atas? Pekerja kerah putih sekalipun juga rentan terkena penyakit akibat lingkungan dan pola kerjanya. Prihartono dkk (2018) mengistilahkan fenomena ini ‘phsycological hazard.’ Di antara mereka, kasus kardiovaskular seperti jantung dan stroke sangatlah tinggi. Dan mereka baru menyadarinya ketika menjelang usia pensiun.

Masalah yang sangat mendasar dari cuitan itu adalah kegagalannya dalam memahami kategori kerja dan hubungan kerja yang berlaku dalam sistem ekonomi-politik hari ini, yaitu kapitalisme. Sistem ini sangatlah bergantung pada kerja untuk memproduksi barang dan jasa yang memiliki nilai guna dan nilai tukar (komoditas). Barang dan jasa yang bernilai ini diproduksi hanya untuk ditukarkan dengan nilai yang lebih besar lagi, atau disebut nilai lebih, bukan agar dapat dikonsumsi secara subsisten untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dan nilai lebih ini adalah kata lain dari keuntungan yang, dalam prosesnya, ditumpuk di dalam kantong para kapitalis. Ringkasnya, kapitalis memproduksi komoditas untuk menumpuk keuntungan, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Karena komoditas diproduksi demi keuntungan, maka eksploitasi melalui berbagai cara dibutuhkan. Para kapitalis tidak peduli seberapa hancur tubuh para buruhnya, asalkan ia dapat mengakumulasi kekayaan. Upah, kalau bisa, diperkecil sekecil-kecilnya, dan bahkan, kalau bisa juga, tak perlu dibayar, agar kekayaan yang ditumpuk semakin besar. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung derita ketika tubuhnya hancur hanya demi akumulasi kekayaan para kapitalis? Siapa yang dipaksa sakit, cedera, cacat, dan bahkan mati, demi majikannya? Dan siapa pula yang harus menerima upah dalam jumlah kecil sehingga hanya dapat dipakai untuk keperluan sehari-hari—itu pun kadang cukup kadang tidak? Ya para buruh itu.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler