Apa Peran Parpol Atasi Kabar Kibul Buzzer?

Kamis 13-07-2023,15:12 WIB
Reporter : Alfin Pulungan
Editor : Alfin Pulungan

Terlebih lagi, lebih dari 65 persen pemilih memiliki akses ke internet dan media sosial. Pemilih tersebut menjadi target potensial untuk penyebaran informasi yang salah. Selain itu, setiap partai politik memiliki alat, pendengung, dan tim yang dapat berperang di media sosial untuk memengaruhi pemilih.

"Gangguan informasi dapat dilakukan oleh berbagai aktor yang memiliki kepentingan politik. Mereka dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi guna memengaruhi persepsi dan pandangan pemilih,” kata Nurul.

Menurut Nurul, penyebaran misinformasi dapat memengaruhi habitus publik dan pemilih dengan menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, kandidat, atau partai politik. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan mengganggu stabilitas politik.

Baca Juga: Gandrungnya Konten Mualaf di Medsos Pertanda Keberislaman yang Norak

Lebih lanjut, penyebaran informasi yang keliru juga dapat memengaruhi preferensi pemilih, baik dalam memilih kandidat maupun mendukung kebijakan pemerintah.

Jika pemilih terpapar secara massal oleh informasi yang salah atau menyesatkan, mereka mungkin akan membuat keputusan politik berdasarkan informasi yang tidak akurat atau manipulatif.

"Banyak partai politik ingin menggunakan berbagai strategi penting untuk meraih kemenangan,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR RI ini mengimbuhkan, edukasi dan kecerdasan pemilih menjadi faktor penting dalam melawan misinformasi yang diperkirakan akan kembali muncul dalam Pemilu 2024.

Menurutnya, pemilih harus mampu mengenali dan menyaring informasi yang benar dan akurat dalam membuat keputusan politik. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam melawan penyebaran informasi menyesatkan harus terus dibangun.

Politikus PDIP, Yohanis Fransiskus Lema, berujar bahwa ruang publik harus diisi dengan informasi yang dapat dipercaya agar pemilih tidak terkena informasi yang salah.

Jika terlalu banyak informasi yang salah beredar, pengambilan keputusan politik dapat menjadi salah karena menerima informasi yang tidak akurat.

Menurutnya, penanggulangan misinformasi dalam Pemilu 2024 memiliki tantangan yang cukup berat. Pasalnya, misinformasi juga dipengaruhi oleh politik identitas, hoaks, dan era post-truth.

Politik identitas menghasilkan "politik pengakuan" yang berlebihan dan menyebabkan mengabaikan diskusi ilmiah, penalaran, kesetaraan, dan kejernihan berpikir dalam menentukan pilihan. "Ruang publik di Pemilu 2024 harus diisi dengan informasi yang kredibel," tegasnya.

Kehilangan Rasionalitas

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan survei yang dilakukan sebelum Pemilu 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih (sekitar 60 persen) tidak terpapar misinformasi. Meskipun pemilih yang terpapar misinformasi di media sosial tidak serta-merta mempercayai informasi yang mereka terima.

Namun, terdapat kecenderungan penolakan terhadap misinformasi yang merugikan kandidat yang mereka dukung. Sebaliknya, mereka cenderung mempercayai misinformasi yang merugikan lawan politik. Dukungan fanatik dari para pendukung kandidat membuat pemilih kehilangan rasionalitas dalam mengevaluasi informasi.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler