Filsafat dan Problem Eksistensi Generasi Muda

Selasa 07-03-2023,05:35 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

Pada hakikatnya, manusia memiliki kecendrungan ingin tahu terhadap berbagai hal. Dari persoalan eksistensi, Ketuhanan, sosial, alam hingga isu-isu kosmologi. Sikap kepo tersebut sudah menjadi bawaan yang memantik begitu saja di dalam diri manusia, dan akan terus mengiringi di sepanjang kehidupan.

Salah satu ilmu yang secara detil dan mendasar membahas isu-isu diatas, ialah Filsafat. Filsafat muncul pada abad ke 7 sebelum masehi di Yunani. Kata filsafat sendiri diambil dari bahasa Yunani, philosophos dan philosophia yang artinya, philo adalah cinta dan sophos adalah bijaksana.

Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab segala sesuatu sedalam-dalamnya dengan mengandalkan kekuatan pikiran. Maka secara subtansial, filsafat dapat dimaknai sebagai tata cara berfikir secara sistematis, radikal, mendalam, dan spekulatif.

Dengan wataknya tersebut, filsafat dinilai memiliki berbagai perangkat yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuat gusar manusia, khususnya terkait makna hidup.

Fenomena Kekinian

Geliat publik Indonesia khususnya kaum muda dalam berfilsafat di era milenial ini rupanya sangat memprihatinkan. Acapkali filsafat dianggap monster yang menyeramkan. Sebuah ilmu abstrak dengan tingkat kesulitan berpikir yang melelahkan, serta dianggap tak memiliki dampak langsung di dalam kehidupan.

Hal tersebut rupanya dilatari oleh mentalitas praktis sebagai implikasi langsung dari modernitas.Sebagaimana diketahui, modernitas dengan segala kemegahanya telah menyediakan kemudahan-kemudahan, termasuk kemudahan mengakses informasi. Namun pada sisi lain, kemudahan yang instan tersebut melumpuhkan daya kritis dan imijinasi. Daya bobot penalaran sangat minim, tidak mendalam, dan mudah mageran. Belum lagi masalah-masalah mental yang muncul akibat krisis eksistensial.

Post Truth

Hal lain yang melengkapi derita zaman ini ialah fenomena Post Truth (setelah Kebenaran). Gelombang inflasi informasi yang begitu masif, orang tidak lagi disibukkan dengan "pencarian" yang bermotif keingintahuan, tetapi lebih kepada "pemilihan" dengan menyesuaikan tendensi sambil memuaskan dahaga libido kecendrungan.

Kebenaran mesti selaras dengan kepentingannya. Begitupun sebaliknya, "salah" artinya yang merugikan-tak sesuai selera. Dengan demikian Moral menjadi subjektif, segala motif kebaikan tergeser oleh dorongan psikologis massa yang digerakkan karena tuntutan kapital. Entah itu yang berupa material maupun mental. Inilah yang disebut era Post truth, orang tak lagi peduli dengan kebenaran, toh kebohongan yang terus-menerus didaur ulang pun, akan dengan sendirinya menjadi kebenaran.

Matinya Kepakaran

Perlu diketahui, media sosial saat ini menempati posisi paling tinggi di dalam rating pencarian informasi. Mengutip laporan dari Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang bertajuk Status Literasi Digital di Indonesia 2022, media sosial mendapatkan persentase responden sebanyak 72,6 persen.

Media sosial dapat dikatakan sebagai media yang paling egaliter ketimbang media-media lainnya karena memberikan peluang kepada siapa saja untuk tampil mengekspresikan diri tanpa filter sama sekali. Namun dari sini pula hierarki kompetensi menjadi tergadaikan. Setiap orang bisa saja merasa paling ahli dalam berbagai bidang dengan hanya bermodalkan searching pada laman yang belum tentu valid.

Tom Nichols di dalam The Death of Expertise—menyebutkan bahwa hal tersebut menjadi salah satu akibat dari runtuhnya kepakaran. Matinya kepakaran merujuk pada pudarnya ketergantungan terhadap pakar sebagai teknisi. Kondisi ini terjadi saat orang-orang mulai merasa mengetahui semua hal, walaupun mereka tidak memiliki kompetensi dan keahlian. Dengan kekuatan viral, dimungkinkan para pakar tergeser oleh rombongan influencer yang tak jelas latar belakang keilmuannya. Di sinilah tragedi Misunderstanding terjadi.

Krisis Eksistensi
Hal lain yang mungkin mengagetkan kita ialah tingkat stres yang tinggi dialami oleh anak Milineal dan Generasi Z. Tersedianya fasilitas dan kemudahan ternyata tidak selalu linier dengan kebahagian. Salah satu faktornya ialah overthingking. Selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Thomas Curran menyatakan bahwa setidaknya ada dua penyebab yang melatari sikap depresi, yaitu Perfeksionisme dan Ilusi Kompetisi. Generasi muda cenderung memiliki tuntutan lebih tinggi terhadap orang lain dan diri mereka sendiri, sekaligus menganggap bahwa orang lain memiliki tuntutan yang tinggi terhadap mereka. Mereka haus akan pujian dan rentan terhadap kritikan. Sikap tersebut tentu berisiko bagi kesehatan mental.

Perilaku pengguna media sosial yang kerap menampilkan gaya hidup ideal, pasangan ideal, tubuh, wajah, karir dan gambaran kesempurnaan lainnya kian memperparah kondisi ini. Akibatnya, muncul ilusi kompetisi yang akhirnya membuat generasi milenial terdorong untuk mengejar hal yang tak mungkin mereka capai, yaitu kesempurnaan. Siklus ini akhirnya menimbulkan depresi. Dari sini pula timbul rasa kecemasan, kesepian, dan hantu kegagalan.

Filsafat Adalah Obat

Belajar Filsafat merupakan salah satu aspek yang menurut hemat penulis, dapat memberikan siraman intelektual serta menata kembali pikiran-pikiran kita, agar bisa keluar dengan selamat dari masalah-masalah di atas.

Filsafat mendorong kita untuk mempertanyakan ulang terkait hal-hal yang semula dianggap benar dan absolute. Melatih kritisisme dan juga mengajarkan untuk berpikir sistematis serta metodis. Menumbuhkan sikap verifikatif, tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, sehingga tidak mudah diperdaya oleh setiap propaganda kepentingan yang datang melalui beragam data maupun opini.

Dari sana kita dapat membedakan antara fakta dan interpretasi terhadap fakta. Antara data dan persepsi terhadap data.

Orang yang tidak biasa berpikir filosofis, akan sulit membedakan kedua hal tersebut. Dengan demikian filsafat dapat menjadi benteng pertahanan dari sikap kesembronoan ataupun pikiran-pikiran negatif.

Dalam konteks lain, salah satu hal yang sering menganggu masyarakat modern ialah problem eksistensial. Ini bukan persoalan sederhana yang dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan material. Lebih dari itu, ini tentang pemaknaan hidup yang erat kaitannya dengan hal-hal abstrak. Orang yang gagal memaknai hidup tentu akan mudah stres dan depresi, terlebih bila sedang mengalami kejatuhan.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler