Menelisik Akar Polemik antara Ateisme dan Teisme: Studi Epistemologi

Jumat 10-03-2023,04:08 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

Sebenarnya titik perbedaan yang paling fundamental antara kaum Teis dan kaum Ateis bukan terletak pada tema “Ada dan tidak adanya Tuhan”, tetapi tentang bagaimana cara mereka dalam memandang dan mendefinisikan realitas.

Kaum Ateis berpendapat, realitas adalah sesuatu yang hanya terjangkau oleh indra. Sepanjang bisa diraba, diukur, dilihat, dihitung didengar dan dijilat, maka itulah realitas. Metode ini memiliki titik tekan pada pengalaman-pengalaman indrawi.

Dengan kata lain, realitas bagi orang ateis adalah sesuatu yang dapat dirasakan secara empirik, atau setidaknya dapat diobservasi melalui alat-alat. Ketidakpercayaan terhadap eksistensi Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari pandangan dunianya ini.

Sedangkan orang Teis, menganggap realitas tidak terbatas hanya pada sesuatu yang empirik. Mereka meyakini ada realitas di luar sana selain yang tertangkap oleh indra. Orang Teis memiliki alternatif lain di dalam memandang realitas, tidak hanya berhenti pada pandangan positivistik semata, tetapi juga rasionalisme, yang mencoba memandang realitas secara filosofis, dengan berbagai dimensi-dimensi tak terhingga, sehingga kepercayaan terhadap Tuhan merupakan konsekuensinya.

Jadi, ini hanya persoalan perbedaan di dalam mendefinisikan “Realitas”, yang berakar dari pilihan-pilihan epistemologi yang berbeda, tidak lebih dan tidak kurang.

Untuk itu, orang-orang Teis semestinya tak perlu ngotot untuk membuktikan keberadaan Tuhan dihadapan orang-orang Ateis, akan semi-percuma. Sebab bangunan epistemologinya sudah berbeda. Kaum Ateis akan terus menuntut Anda agar dapat menampilkan Tuhan dihadapan mereka dengan wujud lahiriah.

Begitu pun sebaliknya, orang Ateis yang hanya mengandalkan empirisme sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tak perlu memaksa agar Tuhan dapat dilihat sebagaimana Anda memahami keberadaan suatu benda. Dalam definisi kaum Teis, Tuhan melampaui realitas dan ruang-ruang yang Anda pahami saat ini.

Bila Tuhan meruang, maka ia terbatas/benda. Ketika terbatas, bararti ia memiliki kelemahan, ketika lemah, berarti ia bukan Tuhan. Jadi, memaksa Tuhan untuk empirik, sama saja memaksa agar Tuhan tidak menjadi Tuhan, jelaslah ini paradoks.

Minimnya pengetahuan terhadap epistemologi ini tidak hanya menjangkiti orang-orang Teis, orang-orang yang mengaku Ateis pun banyak yang belum mengerti, bahkan tidak sedikit dari mereka yang hanya berargumen berdasarkan pengalaman-pengalaman traumatik, itu pun masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana diketahui, kekecewaan kasuistik tak dapat dijadikan dalil ilmiah.

Dengan demikian, kita dapat memahami akar dari polemik-polemik di atas. Saran saya, dialog akan lebih berbobot bila dimulai dari isu-isu terkait Ontologis dan epistemologis, sehingga bermuara pada tema “Eksistensi dan Realitas”. Apa itu hakihat eksistensi, dan apa itu realitas, ketimbang kita memperdebatkan hal-hal partikular yang hanya menampilkan galeri debat kusir sepanjang waktu.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler