Mitos, Gen Z, en Fomo

Minggu 12-03-2023,13:37 WIB
Reporter : Jabbar Baskara
Editor : Jabbar Baskara

SIASAT.CO.ID - Rakun yang ada dalam anime Pom Poko dalam kepercayaan masyarakat Jepang dikenal sebagai Tanuki–hewan yang memiliki daun ajaib untuk bisa berubah bentuk dan wujud. Keyakinan masyarakat Jepang ini dipertegas dalam film Pom Poko saat para tokoh Rakun-rakun muda diberikan latihan untuk menguasai perubahan wujud agar bisa meniru manusia yang mengancam wilayah hidupnya.

Kisah-kisah Tanuki dan mitos lainnya dalam masyarakat Jepang jadi akar yang kuat dalam pikiran kekiniannya. Ini bisa dilihat dalam banyaknya produksi anime Studio Ghibli yang menyelipkan mitos-mitos itu sebagai pemanis cerita bahkan sampai jadi cerita utama.

Hal itu memang sudah jadi misi Jepang sebagai “Pop Culture Diplomacy”, salah satunya lewat anime. Itu jadi alasan mengapa setiap anime Jepang sering kali menyelipkan budayanya karena punya upaya kepentingan untuk mengenalkannya pada masyarakat dunia.

Budaya Populer yang diusahakan Jepang itu telah lama juga masuk di negara Indonesia saat masa Orde Baru. Hal ini setidaknya telah membuat kita akrab dengan anime itu sejak dari kecil lewat televisi.

Baca Juga: Anjing Rakun adalah Wajah Kita Sebenarnya

Apa itu berdampak buruk?

Tentu tidak. Budaya populer katakanlah seperti ulat bulu. Kita mesti tahu cara memegang ulat bulu agar tidak kena gatal dari bulu lebatnya. Hematnya ketika tak tahu cara menanganinya, yakinlah kita bahwa budaya populer akan menyebabkan suatu masalah pada diri kita, bahkan bisa bikin lupa pada wajah budaya kita sendiri.

Mitos Rakun yang diangkat anime Pom Poko itu sebenarnya dekat dengan budaya di Indonesia. Kita juga punya kisah hewan yang jadi mitos salah satunya seperti buaya putih, hampir di setiap daerah punya mitos tentang buaya putih versinya tersendiri.

Ada yang menganggap buaya putih itu adalah utusan leluhur untuk menjaga sungai, ada juga yang menyebutnya sebagai tanda-tanda alam. Jika buaya putih itu terlihat maka dianggap akan terjadi sesuatu yang merugikan manusia.

Tidak ada yang salah dalam banyaknya anggapan seperti itu, karena begitulah mitos sebagai cara berpikir sebuah kebudayaan tentang sesuatu hal.

Baca Juga: Filsafat dan Problem Eksistensi Generasi Muda

Nah, hari ini kita juga masih mendapatkan mitos-mitos baru. Jika yang sebelumnya kita menganggap mitos itu hanya ada di masa lalu, ternyata pada abad modern yang katanya si paling rasional ini banyak juga memproduksi sebuah mitos. Mitos kali ini dekat sekali dan sangat populer, bahkan kepopulerannya mengalahkan Mister Gepeng di kamar mandi sekolah, kengerian Kalong Wewe si penculik anak kecil di waktu magrib, atau kengerian Pocong Keliling yang mengetuk pintu-pintu rumah minta talinya dilepas.

Zaman modern dalam geraknya banyak memproduksi mitos untuk mewujudkan sebuah paham sesuatu yang sebenarnya semu belaka, seperti gaya hidup. Gaya hidup zaman modern telah membuat kita semua mendasari hidup ini pada soal kemewahan bukan kebutuhan, Fear Of Missing Out (FOMO) istilah yang kita kenal ini menggambarkan rasa cemas dan takut jika tidak mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh orang di sekitar kita, seperti kecenderungan penampilan, berita, dan sebagainya.

Mitos soal gaya hidup itu sudah membawa kita pada usaha-usaha yang memaksakan kehendak, berganti-ganti telepon genggam setiap ada keluaran baru, membeli pakaian bermerek untuk dilihat di tongkrongan, mesti jalan-jalan ke Bali untuk menurunkan tingkat stres yang dialaminya di tempat kerja atau lingkungan tinggalnya, dan banyak lagi hal yang bisa kita sebut buat melihat fenomena yang menyatakan bahwa hidup ini sudah didasari pada kemewahan.

Mitos budaya populer itu sudah banyak melarutkan kita pada hal-hal yang membuat diri sendiri rentan terhadap masalah kesehatan, tentu banyak sekali efeknya yang bisa dirasakan baik secara pribadi maupun laku sosial.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler