Idealisasi Agama dan Nasionalisme: Worldview Manusia Indonesia

Jumat 17-03-2023,04:44 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SIASAT.CO.ID - Menjaga keutuhan bangsa serta mentaati konstitusi negara tidak hanya tanggung jawab politik, melainkan juga tanggung jawab teologis sebagai aktualisasi keberagamaan kita di Indonesia. Bila melanggar peraturan dan konstitusi negara, secara otomatis memiliki dua konsekuensi sekaligus, pertama di mata hukum (pidana), kedua merasa berdosa, yang bersumber dari kesadaran eskatologis.

Agama bersifat universal, sedangkan negara bersifat fakultatif yang merupakan kebutuhan aksidental manusia. Kata yang lebih tepat untuk menggambarkan hubungan keduanya adalah simbiosis mutualisme, saling memberi manfaat.

Sebagaimana diketahui, negara dengan watak sekulernya, tentu memerlukan nilai lain agar bisa menjangkau kebutuhan masyarakatnya yang begitu kompleks, boleh jadi tak ada kaitannya dengan urusan yang sifatnya kuantitatif. Di sinilah urgensi agama, agama diharapkan dapat memberikan semacam harapan visioner yang berasaskan nilai-nilai keluhuran, tidak hanya terbatas pada pandangan dunia empirik semata, tetapi juga spiritualitas-metafisis yang secara psikologis sangatlah bermanfaat bagi mental manusia, sekaligus mengisi kekeringan modernitas.

Kendati tak dapat dipungkiri, sebuah harapan terkadang melahirkan mitos yang fatalistik, tetapi pada sisi lain, harapan juga dapat memberikan motivasi hidup, minimal masih bisa tertawa walau tak punya uang, ditolak cinta tak menjadi masalah, mungkin bukan jodoh. Beragama menjadikan manusia lebih bijaksana serta menganggap setiap kegagalan adalah ujian dan cobaan dari Tuhan. Berangkat dari nilai tersebut, semestinya tak ada istilah putus asa bagi orang-orang ber-Tuhan.

Baca Juga: Ulama Perempuan NU Ini Jelaskan secara Fiqih Otoritas PBB bagi Umat Islam

Analoginya seperti ini: Bila negara bertujuan menegakan keadilan, agamalah yang memberikan sentuhan kasih sayang. Bila negara membuka jalan bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat, agamalah yang memberikan makna hidup dan menyehatkan mental masyarakat.

Sayangnya, sebagian kita karena kecewa dengan pola keberagamaan orang-orang tertentu, secara membabi buta melimpahkan konotasi negatif terhadap setiap pola keberagamaan, sikap generalisasi seperti ini tentu tidak menunjukkan kedewasaan dalam berpikir. Bila agama dipandang negatif karena realitas penganutnya, maka siapapun akan dengan mudah melakukan generalisasi serupa terhadap hal-hal lain.

Misalnya nasionalisme, bila kita meniadakan konseptualnya maka yang tersisa hanyalah puing-puing ke-ngerian. Rasisme, persekusi orang Amerika terhadap warga Asia, Kolonialisme, kekerasan terhadap warga Papua atas nama NKRI, genosida Nazi atas ras Yahudi, perang dunia 1-2 dan hal-hal lainnya yang membuat kita sejenak mengerutkan jidad. Mungkin kita akan berkilah, "oh itu bukan nasionalisme sejati," tetapi faktanya berlaku demikian.

Pemahaman Ulang Atas Nasionalisme

Penting diketahui, nasionalisme Indonesia tidak lahir dari persamaan yang bersifat determinatif, tetapi lebih kepada kesamaan ideologis yang memantik dalam sebuah harapan luhur, Imagine Community dalam istilah Ben Anderson. Meski masyarakat Indonesia berbeda latar belakang, bahasa dan adat, tetapi bersepakat untuk hidup bersama dalam naungan konstitusi.

Kesalahan dalam memahami nasionalisme, tentu dapat menimbulkan kekisruhan yang sama sekali kontra produktif, seperti munculnya politik identitas yang belakangan ini cukup ramai memenuhi beranda kita.

Baca Juga: Haji Misbach Jalan Panjang Menuju Keadilan

Fenomena tersebut berawal dari sentimen politik keagamaan yang kemudian menciptakan polarisasi. Bahkan hal ini pula yang turut mengembangkan sentimen primordialisme ke tengah masyarakat dan menimbulkan sikap fasistik terhadap komunitas tertentu yang dianggap bukan pribumi asli atau warga keturunan.

Tentu sangat tidak elok mengklaim diri sebagai komunitas yang paling pribumi hanya karena tendensi tak berdasar. Di samping itu, harus diakui bahwa budaya Indonesia juga banyak dikonstruk dari beragam kultur dan peradaban bangsa lain, melalui pola-pola akulturasi dan asimilasi. Sebagaimana diungkapkan Bung Hatta, menurutnya ada tiga unsur yang mempengaruhi nasionalisme Indonesia, yaitu religuisitas (nilai-nilai keagamaan), pemikiran sosialisme Eropa, dan corak kekeluargaan masyarakat.

Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia bersifat inklusif atau terbuka, tidak tertutup seperti fasisme. Atas dasar inilah, diksi-diksi seperti pribumi dan non pribumi sudah tidak lagi relevan digunakan dalam ruang publik. Semua warga yang memiliki kartu tanda penduduk Indonesia (KTP), adalah warga Indonesia Asli, meski wajahnya tampak tidak seperti orang Indonesia kebanyakan.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler