Puasa dan Berbagai Hakikat di Dalamnya

Selasa 21-03-2023,05:15 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SIASAT.CO.ID - Kata Ali Shariati, manusia memiliki dua dimensi. Dimensi ruh (akal) dan dimensi tanah (tubuh). Sifat Ruh ialah menuju kesempurnaan dan kesucian, sedangkan tanah yang direpresentasikan oleh tubuh cendrung kepada dorongan biologis.

Tentu keduanya ini bersifat alamiah/normal dalam diri manusia. Hanya saja mana yang lebih dominan. Bila ruh yang dominan, maka wujudnya adalah kebaikan dan keluhuran. Sebaliknya, bila tanah yang lebih dominan, maka yang tersisa hanyalah pemenuhan syahwat tiada henti.

Untuk meminimalisir determinasi tubuh, manusia harus menjalani aktivitas transendental sekaligus sosial, dan saya tidak menemukan aktivitas se-komprehensif itu selain puasa. Dalam ibadah puasa, Manusia membuat jarak terhadap alam jasmani, menghindarkan diri dari makan, minum, seks, berbagai hiburan dan segala yang memanjakan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Hal tersebut dilakukan dalam upaya mengikis sifat kebergantungan terhadap hal-hal material.

Sebagai makhluk multi-dimensi, manusia tentu berbeda dengan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Misalnya dengan binatang, binatang tidak memiliki kuasa "kehendak", mereka hanya bergerak berdasarkan naluri. Ketika lapar, mereka harus makan, atau disaat dorongan biologisnya sedang muncul, mereka pun mesti menyalurkannya pada saat itu juga.

Baca Juga: Resep Coconut Milkshake, Minuman Segar Untuk Berbuka Puasa

Binatang adalah makhluk yang paling pragmatis dan realistis, mereka tak memiliki visi dan harapan jangka panjang. Oleh karena itu, binatang tak pernah dihadapkan pada dilema moral, mereka akan terus bergerak memanfaatkan kesempatan apapun dan dengan cara apapun, mengambil setiap keuntungan terhadap apa-apa yang terjangkau di depan mata mereka.

Berbeda dengan binatang, manusia memiliki kuasa kehendak akan dirinya. Dengan kata lain, manusia bisa memilih untuk tidak mengambil atau tidak melakukan sesuatu, sekalipun mereka membutuhkannya. Manusia memiliki idealisme tertentu untuk menunda setiap keinginannya.

Oleh karena itu, manusia sejati akan selalu memposisikan akal dan nurani sebagai kompas di atas kecendrungan biologisnya.

Karena bila akal kalah oleh kuasa tubuh, yang terjadi adalah hegemonitas syahwat. Ketika syahwat yang dikedepankan, maka apapun akan diterjang sekalipun itu tak sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Maka itu, puasa mengajarkan manusia untuk berhenti sejenak, menahan diri dari setiap keinginan yang belum tertentu bermanfaat. Bila manusia mampu mengendalikannya, maka fitrahnya sebagai Al-Insan akan kembali–makhluk rohani. Sebagaimana yang ungkapkan Imam Khomeini, kualitas manusia diukur dari seberapa jauh ia bisa keluar dari pengaruh materi dan kembali ke alam spiritual.

Baca Juga: Jadwal Sidang Isbat Ramadhan 2023, Penentuan Awal Puasa Menurut Pemerintah

Orang yang mudah tunduk dan menyerah dihadapan syahwat, secara hakikat layak disebut "selain manusia", Turun kelas dan tak memiliki kehormatan secara personal. Manusia jenis ini harga dirinya akan sangat rentan dibeli, dan kelak dapat dijajakan dengan harga murah di pasar-pasar kehidupan.

Puasa Sebagai Ritual Empati

Pada dimensi lainnya, puasa merupakan simbol kepedulian terhadap kemiskinan, kelaparan, keteraniyayaan, dan penindasan. Puasa juga mengajarkan kepada kita agar hidup lebih prihatin. Dengan mengurangi makan minum ini, setidaknya kita dapat merasakan derita orang-orang yang kurang beruntung, lalu menyatu bersama mereka sebagai wujud refleksi cinta kasih, yang pada gilirannya memunculkan kesadaran sosial-kemanusiaan secara kolektif.

Berangkat dari falsafah di atas, sudah semestinya para calon wisudawan 'akademi Ramadhan' menolak hidup hedonistik dan sikap hura-hura berlebih, karena di dalam jiwanya tertanam nilai-nilai keluhuran yang bermuara pada kesalehan sosial, sehingga manifestasi dari itu semua adalah: Kesederhanaan, sikap proporsionalitas, transformatif, dan resisten.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler