Dinamika Islam dan Rasionalisme: Menuju Masyarakat Ideal

Dinamika Islam dan Rasionalisme: Menuju Masyarakat Ideal

Hal ini dapat dimulai dari kurikulum yang berbasis metodologis sampai kepada penggunaan rasio secara demonstratif melalui pola-pola aplikatif. Untuk sampai pada tahap tersebut, dibutuhkan sumber daya intelektual yang mapan dari para tenaga pengajar.

Meski tidak mudah dan mungkin terkesan mengsimplikasikan permasalahan, terlebih ini juga terkait dengan kebijakan dan birokrasi yang kompleks, namun setidaknya gagasan ini dapat dijadikan proyeksi ke depan dalam upaya menyegarkan keberagamaan kita dan membangkitkan girah keilmuan agar siap dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.

Selain itu, secara sosiologis, upaya tersebut dimaksudkan guna menghindari konflik horizontal di antara umat beragama atau bahkan di intra Islam sendiri, dari politisasi ayat, fenomena pengkafiran dan segala macam bentuk provokasi atas nama agama yang belakangan ini berkembang cukup masif.

Baca Juga: Tauhid Adalah Pembebasan

Dengan demikian, dapat dilihat betapa pentingnya penggunaan rasio di dalam keberagamaan kita, hal ini memiliki konsekuensi langsung secara sosial maupun politik pada kehidupan berbangsa. Rasio bersumber dari akal murni yang juga merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri, di samping kitab suci Alquran. Tanpa penghargaan terhadap akal, rasanya agama tak lebih dari kumpulan mantra-mantra tak bernyawa.

Membangun Masyarakat Ideal

Dalam kaitannya dengan masyarakat ideal, Islam harus dilihat dari empat aspek. Pertama aspek intelektual yang berbasis akal dan filsafat sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal. Namun rasio saja tidak cukup, perlu perangkat-perangkat lain untuk menunjangnya, antara lain aspek spiritual yang berbasis tasawuf atau ritual-ritual keagamaan, aspek budaya yang berbasis humanisme, dan aspek ideologis.

Aspek spiritual: aspek ini pada umumnya menyentuh pada wilayah batiniah, hati, dan cinta. Dari sini akan lahir pribadi-pribadi yang lembut, dewasa, tidak emosional dan santun.

Watak seperti ini amat diperlukan dalam membantu membangun sebuah peradaban. Selain itu, Aspek ini sangat menghargai nilai-nilai tradisional. Inilah yang menjaga keseimbangan terhadap kekeringan rasionalisme.

Baca Juga: Gen Z Mesti Tahu Pentingnya Memahami Pribumisasi Islam

Thomas Merton, dalam Mysticism in the Nuclear Age, berkata: “Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal saleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan sosial tanpa kehadiran kaum mistik, orang-orang suci."

Aspek Budaya: Tak dapat dihindarkan bahwa yang menjadi ke-khasan Islam Indonesia adalah singkretisme. Di sini agama dapat berbaur dengan nilai-nilai budaya setempat. Karena Islam bukan hanya sekadar agama, tapi juga sebuah peradaban.

Dalam sejarah, Islam sangat mengapresiasi segala bentuk budaya selama itu tidak melanggar hukum syariat. Melalui aspek ini, Islam dapat berinteraksi dengan beragam budaya sekaligus menegaskan universalitas Islam.

Aspek Ideologis: Aspek ini sebenarnya cukup rentan yang dapat menimbulkan polemik. Namun untuk menciptakan sebuah peradaban besar, diperlukan manusia-manusia yang memiliki komitmen kuat dan dari sana akan melahirkan militansi.

Maka bisa dikatakan bahwa kebutuhan terhadap aspek ideologi merupakan suatu keharusan. Tanpa aspek tersebut, orang sangat rentan bersikap opurtunis dan pragmatis.

Tidak mungkin sebuah peradaban dapat gemilang tanpa jiwa-jiwa militan yang siap untuk berkorban. Selain itu, perjuangan berbasis massa akan sulit dilakukan tanpa ideologi yang mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal yang merupakan basis dari perjuangan.

Sumber: