Komunitas Sekitar Kampus: di Mana Mereka Diletakkan dalam Jejaring Serikat Tenaga Pendidik?

Komunitas Sekitar Kampus: di Mana Mereka Diletakkan dalam Jejaring Serikat Tenaga Pendidik?

Di Indonesia, sejarah pendirian kampus yang melibatkan enclosure belum banyak diketahui. Tapi seturut waktu, perkembangan kampus selalu diwarnai oleh kisah-kisah penggusuran komunitas di sekitarnya. Kita tentu tidak boleh lupa kisah penggusuran pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran Universitas Hasanuddin dan Universitas Indonesia hampir dua dekade yang lalu.

Sejumlah pedagang kaki lima (PK-5) bersama mahasiswa berunjuk rasa di rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Senin, 15 November 2010. (Foto: Antara).

Kita juga tak boleh lupa penggusuran rumah warga dan penutupan “pintu doraemon” (akses berjualan termudah para PKL kepada mahasiswa) oleh manajemen UIN Jakarta. Kisah-kisah ini tentu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya kisah penggusuran kampus terhadap komunitas di sekitarnya.

Puluhan warga yang tinggal di Kampung Utan, Cempaka Putih, Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), berunjuk rasa menentang rencana eksekusi lahan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam aksinya, massa menutup akses masuk di depan gerbang kampus tersebut, Selasa (28/8/2018). (Foto: Sindo).

Pertanyaannya, siapakah mereka yang digusur itu? Siapakah orang-orang yang merupakan komunitas sekitar kampus? Bukankah mereka adalah para buruh—yang mungkin di antara mereka juga terdapat buruh-buruh yang bekerja di kampus? Dan bukankah di antara mereka juga terdapat buruh-buruh informal, seperti pelayan rumah makan, tukang cuci, tukang percetakan, dll yang hasil kerjanya menopang kebutuhan (reproduksi) harian para pekerja di dalam kampus?

Tanpa mereka, apakah para dosen maksimal dalam mengajar? Ketika dosen atau mahasiswanya lapar, siapakah yang menyediakan makanan murah? Dan siapa pula yang memberikan layanan cuci pakaian dengan harga terjangkau?

Baca Juga: Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Kita harus selalu ingat: rendahnya upah dosen dan pekerja di dalam kampus hanya bisa dijalankan bila ongkos reproduksi mereka lebih murah ketimbang upah itu.
Ketika komunitas sekitar kampus tergusur, siapa yang menopang kebutuhan reproduktif para tenaga pendidik dengan harga murah? Yang lebih penting lagi, sudahkah mereka dibela ketika menghadapi penggusuran oleh pihak kampus?

Ketika saya bergabung dalam aksi memprotes penutupan pintu doraemon dan penggusuran rumah warga oleh UIN Jakarta, hampir tak ada civitas akademika yang ikut mendukung protes itu kecuali para mahasiswa. Bukankah aneh, ketika komunitas sekitar kampus—yang telah menyediakan kebutuhan reproduktif bertahun-tahun—harus digusur, tapi tak dibela sedikitpun oleh para tenaga pendidik—yang telah menikmati hasil kerja mereka sejak lama dan membuat kegiatan belajar-mengajar lancar setiap harinya? Bukankah ini sebuah contradictio in subjecto?

Dalam menyambut seruan berjejaring serikat tenaga pendidik dengan buruh-buruh di sekitar kampus, maka satu argumen bisa diletakkan: jejaring antara serikat tenaga pendidik kampus dengan buruh-buruh di tempat lain bukanlah didasari oleh sebuah moralitas semata bahwa mereka sederajat. Akan tetapi, jejaring di antara keduanya harus didasari oleh kesalingterkaitan satu sama lain dalam relasi kapitalistik.

Eksploitasi buruh di kampus mengandaikan eksploitasi komunitas sekitar kampus. Ketika kampus semakin terinkorporasi ke dalam arus kapitalisme neoliberal, penindasan tidak hanya dirasakan oleh para dosen, peneliti, dan pekerja lain di dalam kampus, melainkan juga menimpa komunitas setempat, yang sebagian besar merupakan buruh, dalam bentuk penggusuran.

Syarat material berlangsungnya produksi dan transfer pengetahuan di kampus tidak hanya mengandaikan penindasan terhadap para tenaga pendidikan di dalam bilik-bilik kelas, melainkan juga penindasan terhadap mereka yang hidup di pinggirnya. Dengan pemahaman ini, maka tak cukup untuk mengatakan bahwa jejaring serikat tenaga pendidik dengan buruh di sektor lain didasari oleh kesamaan derajat, melainkan harus didasari oleh pandangan bahwa mereka sama-sama ditindas, saling terkait dalam hubungan reproduktif, dan harus membela satu sama lain.

Khalid Syaifullah

Penulis, Redaktur islambergerak.com

Khalid Syaifullah. (Foto: IG @khaliddsy).

Sumber: