Staycation dan Kebudayaan Patriarki

Staycation dan Kebudayaan Patriarki

KISAH AD, yang kontraknya tak diperpanjang karena menolak ajakan staycation bosnya, bukanlah cerita baru dan satu-satunya. Kisah pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan ‘tulang punggung keluarga’ ini hanyalah satu fragmen dari kisah besar pelecehan seksual di tempat kerja. Pada 2021, ILO menyebut setidaknya sebanyak 743 juta orang yang didominasi perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja. Ada yang menyebut kisah ini sebagai langgengnya ‘budaya patriarki.

Jika patriarki merujuk pada dominasi laki-laki di berbagai aspek kehidupan yang membuat posisi perempuan tersubordinasi di bawahnya, maka budaya patriarki merujuk pada pewarisan nilai dan norma atas dominasi dan subordinasi itu. Kasus staycation karyawan perusahaan di atas adalah salah satu contohnya.

Apakah benar patriarki itu suatu kebudayaan? Jika iya, dalam konteks apa kebudayaan semacam itu lahir? Untuk apa dominasi laki-laki atas perempuan muncul dan terus dipelihara?

Frederick Engels mengingatkan pada kita bahwa untuk meneropong kemunculan patriarki, maka perubahan historis yang berlangsung harus diperhatikan.

Perubahan ini terutama menyangkut munculnya hubungan kepemilikan pribadi (private property) di satu sisi dan pelenyapan hubungan komunal (primitive communism) di sisi lain. Munculnya kepemilikan pribadi memiliki konsekuensi pada pergeseran hubungan laki-laki dan perempuan, terutama dalam keluarga. Perempuan yang sebelumnya memegang peranan sosial besar, disubordinasikan ke dalam urusan-urusan reproduktif belaka. Bentuk keluarga patrilineal muncul, dan tubuh perempuan hanya menjadi aset yang dikuasai laki-laki, sama seperti anak dan warisan.

https://youtu.be/IcCgbbSUCrU

Sejarah kemunculan kepemilikan pribadi, oleh karenanya merupakan sejarah kemunculan patriarki, yang Engels sebut sebagai “sejarah kekalahan perempuan dari laki-laki.”
Kepemilikan pribadi adalah salah satu karakteristik penting dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, seluruh komoditi dapat dikuasai oleh para kapitalis sepenuhnya, meski yang memproduksinya adalah orang lain (yaitu pekerja), bukan mereka. Bagaimana bisa begitu? Karl Marx memberikan sebuah kata kunci: alienasi.

Kepemilikan pribadi hanyalah ekspresi dari proses alienasi, yaitu proses di mana (1) aktivitas produksi, (2) hasil produksi, (3) relasi sosial dalam produksi, dan (4) kekuatan alamiah pekerja sebagai kekuatan produktif tampil sebagai sesuatu yang asing, sebagai monster, yang ketika semakin besar, semakin hancurlah si pekerja. Untuk ada yang namanya kepemilikan pribadi bagi si kapitalis, harus ada pengasingan atas kepemilikan orang banyak, yaitu si pekerja.

Karena faktanya, “pekerja semakin miskin ketika mereka semakin produktif dari segi kekuatan dan cakupan. Pekerja semakin menjadi komoditi yang murah ketika mereka semakin banyak memproduksi komoditi. Nilai pekerja semakin turun pada saat nilai benda [komoditi] semakin meningkat. Pekerja tidak hanya memproduksi komoditi; mereka juga memproduksi dirinya dan tenaga kerjanya sebagai komoditi.”

Semakin intens seorang buruh bekerja, semakin kaya majikan atau bosnya. Dan semakin lelah, letih, dan lesu si buruh. Semakin intens ia bekerja, semakin ia merasa bahwa aktivitasnya itu adalah beban dan tidak mencerminkan passion-nya. “Buruh merasa menjadi dirinya di luar pekerjaannya, dan tidak menjadi dirinya ketika ia sedang bekerja. Ia merasa di rumah ketika tidak bekerja, dan merasa asing ketika di tempat kerja.”

Baca Juga: Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Bagaimana alienasi itu bisa terjadi? Dalam bab akhir Capital, Marx menawarkan konsep lain sebagai jawabannya: akumulasi primitif. Apa itu akumulasi primitif? Proses separasi/pemisahan pemilik sarana subsistensi dari sarana subsistensinya, transformasi sarana subsistensi itu menjadi kapital dan transformasi si pemilik menjadi buruh upahan. Marx mengajukan istilah ‘ekspropriasi’ untuk menunjukkan bahwa proses separasi dan transformasi ini sangat kental dengan dimensi kekerasan, pemaksaan, kolonialisasi dan perang yang sejarahnya “harus ditulis dengan darah dan api.”

Agar pemilik sarana subsistensi mau bekerja bagi si kapitalis, pertama-tama ia harus diceraikan dulu dari sarana subsistensinya dan diubah menjadi buruh. Apa saja sarana subsistensi itu? Lahan, peralatan kerja, alam, bahkan hingga–dan ini yang paling penting–tubuhnya sendiri.

Sumber: