Menjadi Pribadi Transendental: Meneladani Sosok Ibrahim AS

Menjadi Pribadi Transendental: Meneladani Sosok Ibrahim AS

IBRAHIM tidak diperintah oleh Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta oleh Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail. Karena semua ini hakikatnya milik Allah, ungkap Ali Syariati.

Ismail kita mungkin harta, Ismail kita mungkin jabatan, Ismail kita mungkin gelar, Ismail kita mungkin ego, Ismail kita mungkin sesuatu yang kita sayangi dan kita pertahankan di dunia ini.

Kita seringkali terkesima kepada sesuatu yang tidak abadi. Bahkan merasa kebergantungan dan kemelekatan yang tinggi. Sehingga kita terlihat seperti gila, bila semuanya pergi.

Kisah Ibrahim dan Ismail di atas merupakan peristiwa simbolik, dimana seseorang mesti melepaskan kemelekatan yang berlebihan terhadap hal-hal bendawi, (Artinya tidak bergantung), agar hidup menjadi tenang, tidak gampang mengeluh dan selalu bersyukur.

Baca Juga: Staycation dan Kebudayaan Patriarki

Dahulu, seorang cucu nabi (Husein) pernah berucap, “Hanya orang bodoh yang bernaung kepada sesuatu yang tak Abadi”.
Karena bila jiwa ini hanya fokus pada hal-hal indrawi-materi serta eskpektasi berlebih, maka ujungnya pasti kecewa. Sesuatu yang tak abadi, tak akan pernah dapat memuaskan dahaga jiwa.

Dibalik keindahan ini, ada sang Maha Indah. Jangan berhenti disana. Belajarlah untuk melihat sesuatu dengan pandangan menyeluruh. Semua ini bersumber dari yang Esa. Bila jiwa kita bersih, semuanya akan terlihat indah. Bahkan derita dan cobaan, kita anggap sebagai cubitan sayang dari sang Maha Kasih.

Realitas ini sesungguhnya bergradasi (bertingkat), dan alam materi adalah realitas paling terendah di antara realitas-realitas yang Tuhan ciptakan. Maka, upayakan untuk tidak terpenjara oleh hal-hal bendawi-materi yang akan menurunkan level spiritual kita sebagai mahluk transendental.

Plato pernah berucap, “Manusia pada mulanya akan mengejar setiap yang dicintainya dengan harapan luar biasa. Namun, ketika yang dicintai itu sudah didapatkan, maka kecintaannya akan segera berubah menjadi kebosanan”. Sepintas kalimat Plato tersebut absurd, tapi bagi mereka yang mau sejenak berfikir, akan segera terungkap rahasianya.

Manusia sejatinya tidak dapat selamanya mencintai sesuatu yang terbatas, tidak dapat selalu bersama sesuatu yang fana. Tidak mampu bertahan dengan sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu.

Baca Juga: Nasib Dosen Honorer: Sebuah Tragedi Kebangsaan

Manusia adalah maujud yang mencintai dan selalu mencari kesempurnaan mutlak, bukan relatif. Fitrah telah mendorongnya untuk mencintai Zat yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, sesungguhnya tak seorangpun bisa mencintai selain kepada Tuhannya. Tetapi bagi sementara orang, Allah tersembunyi di balik nama-nama: Dina, Deni, Nadia dan seterusnya.

Sayangnya, manusia sering tidak menyadari apa yang terpendam dalam fitrahnya, sehingga ia menganggap harta, kedudukan, tahta dan seksualitas adalah kesempurnaan yang mutlak. Namun, jika hijab-hijab ini dapat tersingkap dari pandangannya, pada saat itu juga kepribadiannya menjadi luhur dan suci.

Seluruh hatinya akan penuh dengan kerinduan mendalam kepada Tuhannya. Dan ini termanifestasi dalam sikap kesehariannya. Tidak berarti anti dunia, hanya saja tidak terikat oleh dunia.

Sumber: