Menyoal Kerja dan Profesionalitas

Menyoal Kerja dan Profesionalitas

Karena komoditas diproduksi demi keuntungan, maka eksploitasi melalui berbagai cara dibutuhkan. Para kapitalis tidak peduli seberapa hancur tubuh para buruhnya, asalkan ia dapat mengakumulasi kekayaan. Upah, kalau bisa, diperkecil sekecil-kecilnya, dan bahkan, kalau bisa juga, tak perlu dibayar, agar kekayaan yang ditumpuk semakin besar. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung derita ketika tubuhnya hancur hanya demi akumulasi kekayaan para kapitalis? Siapa yang dipaksa sakit, cedera, cacat, dan bahkan mati, demi majikannya? Dan siapa pula yang harus menerima upah dalam jumlah kecil sehingga hanya dapat dipakai untuk keperluan sehari-hari—itu pun kadang cukup kadang tidak? Ya para buruh itu.

Baca Juga: Staycation dan Kebudayaan Patriarki

Sejak mulanya, kata Rosa Luxemburg dalam The Accumulation of Capital, kapitalisme selalu membutuhkan ‘kerja murah’ dari wilayah-wilayah jajahan. Karena hanya dengan begitu gedung-gedung industri, khususnya di Eropa, bisa terang benderang. Pada dekade 1990an, naiknya globalisasi kian memperdalam ekstraksi atas kerja murah itu. Industri manufaktur dan padat karya, dengan upah yang rendah, digeser dari negara-negara Eropa dan Asia Timur ke ‘Dunia Ketiga’, termasuk Indonesia (Maria Mies dkk, Subsistence Perspective: Beyond the Globalised Economy, 1999). Dalam perkembangannya, muncul hubungan kerja ‘informal’ di negeri-negeri Dunia Ketiga itu. Karakter informalitas ini ditandai oleh banyaknya buruh yang dipekerjakan dalam sistem ‘sub-kontrak’ oleh perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara maju (Lihat Intan Suwandi, The New Economic Imperialism, 2019). Di Indonesia sendiri, pekerja informal mendominasi angkatan kerja nasional dan paling banyak menyumbang nilai lebih bagi akumulasi kapital (Muhtar Habibi, Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, 2016).

Di dalam lingkungan kerja yang penuh dengan karakteristik informalitas itulah berbagai penyakit muncul. Dan tubuh para pekerja menjadi sarangnya. Rasa lelah, letih, dan lesu bercampur aduk di dalam hubungan kerja yang tanpa jaminan, tanpa kejelasan waktu libur, beban kerja, dan ketidakpastian besaran upah. Sakit yang diderita oleh para pekerja informal saat ini menyeruak ke dalam kategori baru yang sebelumnya tidak pernah diperbincangkan. Kalau dulu hanya penyakit fisik yang nampak dan menjadi perhatian, sekarang mulai muncul mental illness. Dan itu diakibatkan bukan karena mereka kurang profesional dalam bekerja. Tetapi karena karakteristik kerja itu sendirilah yang membuat mereka terperangkap ke dalam situasi semacam itu.

Jadi, masih percaya kalau kita sakit karena kita kurang profesional? Masih percaya pada kondisi kerja yang manusiawi dalam sistem kapitalisme? Kalau iya, mungkin anda musti cepat-cepat periksa ke dokter.

Sumber: