Masih Soal Kerja dan Profesionalitas

Masih Soal Kerja dan Profesionalitas

Di KBN Cakung, sebagaimana dilaporkan oleh Aulia Adam (Tangan dan Kaki Terikat, Tirto.id, 12/3/2023), kesehatan reproduktif buruh perempuan terancam hancur permanen. Pasalnya, mereka tidak diijinkan cuti hamil. Mereka tetap dipaksa bekerja meski perut mereka sudah membesar. Banyak dari mereka yang mesti melahirkan bayinya secara prematur di tempat kerja karena ketuban mereka keburu pecah. Banyak bayi-bayi ini yang mati di tempat. Dan fungsi prokreatif para buruh perempuan juga rusak.

Kisah tentang hancurnya kesehatan para buruh, akibat kondisi kerja di bawah prinsip akumulasi kapital, masih bisa kita saksikan di belahan bumi lainnya. Itulah mengapa isu ‘kesehatan dan keselamatan kerja’ (worker’s health and safety) menjadi salah satu aspirasi paling awal gerakan buruh. Pengurangan jam dan beban kerja serta peningkatan upah, sebagaimana diceritakan Engels, adalah salah satu tuntutan untuk melindungi kesehatan buruh-buruh di Inggris. Di Meksiko, para buruh menuntut perusahaan untuk bertanggung jawab menyediakan layanan medis dan obat-obatan serta mengakui bahwa penyakit-penyakit yang diderita buruh adalah akibat lingkungan kerja mereka.

Bahkan, isu kesehatan dan keselamatan kerja menjadi gerbang awal menuju isu lainnya yang lebih luas, yakni kesehatan publik dan bahkan, yang terbaru, isu perubahan iklim (Khalid Syaifullah, Demi Tubuh yang Tercemar, 2023). Dan perkembangan isu itu dimulai dari kesadaran serikat buruh tentang pentingnya kesehatan di lingkungan kerja, yang awalnya dipandang sebelah mata oleh orang banyak (Ray Elling, The Political Economy of Worker’s Health and Safety, 1989).

Globalisasi, yang merupakan perkembangan lebih lanjut kapitalisme, menggeser industri-industri manufaktur ke negeri-negeri berkembang di Asia Tenggara. Dalam pergeseran ini, muncul informalisasi kerja di satu sisi dan pemotongan subsidi publik di sisi lain, termasuk subsidi kesehatan. Dampaknya, buruh-buruh di Asia Tenggara menjadi buruh paling rentan terserang penyakit akibat kondisi kerja. Buruh perempuan di KBN Cakung hanyalah salah satu contohnya. Di luar itu, masih banyak pekerja-pekerja informal yang tubuhnya mengalami kerusakan dengan cara diupah murah, tak ada jaminan kontrak, tetapi waktu dan beban kerjanya bisa sangat panjang dan melelahkan.

Baca Juga: Cara Atasi Depresi saat Sedang Bekerja

Sebagai warga Indonesia, kita tentu tahu apa arti penting kartu BPJS bagi kita kelas pekerja, yakni sebagai jaminan bahwa subsidi kesehatan itu masih ada. Tapi yang perlu kita ketahui lebih lanjut adalah bahwa kartu BPJS yang bisa kita nikmati itu berasal dari perjuangan para buruh, khususnya serikat buruh. Kartu BPJS adalah respon para buruh terhadap ganasnya kapitalisme yang tanpa henti merusak tubuh para pekerja. Meski masih jauh dari sempurna (yakni belum melindungi pekerja-pekerja informal), namun BPJS menyuguhkan gambaran bahwa kondisi sehat tidaklah diberikan secara cuma-cuma oleh para pebisnis, melainkan harus direbut dengan perjuangan kolektif.

Buruh yang sehat, bagi pebisnis, adalah buruh yang produktif, yang dapat terus-menerus bekerja menghasilkan nilai lebih baginya. Selama buruh masih bisa hidup dengan waktu dan beban kerja yang besar, upah yang minim, dan tanpa jaminan kesehatan, para pebisnis tentu tidak akan segan-segan menghancurkan kesehatan para buruhnya. Maka, buruh yang sakit ketika bekerja, sekali lagi, bukan karena si buruh tidak profesional. Tetapi karena kerakusan kapitalis di bawah prinsip “akumulasi tanpa henti.” Maka dari itu, penting untuk kita memahami kerja dalam kerangka kapitalisme, karena hanya di bawah sistem inilah, kesehatan buruh menjadi sangat murah dan bahkan tiada artinya sama sekali.

Sumber: