Berdebat dengan Teman Ateis: Sebuah Refleksi Intelektual

Berdebat dengan Teman Ateis: Sebuah Refleksi Intelektual

SUATU hari, saya bertemu seorang teman yang tampak sedang keranjingan dengan filsafat Barat. Setelah mendeklarasikan diri sebagai penganut Ateis dihadapan teman-teman lainnya, sekonyong-konyong Ia melemparkan pertanyaan teologis kepada saya.

"Za, bagaimana Tuhan bisa ada dengan sendirinya. Siapa yang menciptakan Tuhan. Bukankah sesuatu yang ada, pasti ada yang menciptakan," tanyanya.

Spontan Saya jawab: "Kalau Dia diciptakan berarti Dia bukan Tuhan, tapi benda,." ujar saya.

Ehmmmm, kalau begitu Tuhan di mana? Tanyanya lagi.

"Tuhan yang menciptakan di mana tanpa di mana", tukas saya.

"Loh, maksudnya?," tanyanya dengan nada tinggi.

Baca Juga: https://siasat.co.id/menelisik-akar-polemik-antara-ateisme-dan-teisme-studi-epistemologi/

Kata "di mana" menunjukan tempat, dan tempat menunjukan ukuran, ukuran menunjukan keterbatasan, keterbatasan berarti tak sempurna, tak sempurna, berarti memiliki kelemahan, dan ketika lemah, pasti bukan Tuhan. DIA jauh tak terukur, dekat tak tersentuh, menyatu tapi tak bercampur. Meski setiap ungkapan dan bahasa tak akan pernah sampai kepada hakikatNya dan bisa jadi malah membatasiNya", tegas saya.

Berarti tidak bisa dibuktikan secara empirik dong? Tidak empirik berarti tidak ada, ujarnya.

"Sejak kapan empirisme menjadi satu-satunya dalil ilmiah? Tidak empirik belum tentu tidak rasional bung. Wujud anda saja tidak empirik bagi orang-orang yang ada di Brazil sana, kehadiran anda masih gaib, minimal bagi orang-orang yang tak mengenali anda. Jadi, tidak setiap hal yang diluar jangkaun anda, berarti tidak ada", jawab saya.

Merasa belum cukup, kemudian saya tambahkan lagi: "Lagi pula, Tuhan tidak tunduk oleh setiap selera anda. Kenapa anda sibuk mengatur Tuhan harus begini dan harus begitu, kalau tidak begini, berarti Tuhan tidak begitu. Asumsi dan ekspektasi anda tentang manusia saja masih sering salah, bagaimana anda mau memberikan penilaian terhadap keberadaan Tuhan, apalagi hanya dengan bermodal teori nekad seperti ini", ucap saya.

Mendengar jawaban itu, lelaki berdarah Minang ini diam sejenak, tampak seperti sedang mencari cela. Setelah lama berdiam diri, Ia pun melemparkan pertanyaan lanjutan.

"Oke za, sekarang begini. Apakah Tuhan Maha tahu dan Maha Kuasa? ", tanyanya.

"Yups", tegas saya

Sumber: