Psikiater: Kesehatan Mental Perlu Diperhatikan Hadapi Bonus Demografi Indonesia

Psikiater: Kesehatan Mental Perlu Diperhatikan Hadapi Bonus Demografi Indonesia

Psikiater mengatakan bonus Demografi 2024 harus dibarengi dengan kesehatan mental.--Foto: Freepik.

SIASAT.CO.ID - Psikiater dan Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, menekankan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan mental saat Indonesia bersiap menghadapi bonus demografi mulai 2030.

"Indonesia akan segera mendapat bonus demografi, menyongsong generasi emas, namun, jika kesehatan mental tidak diperhatikan, ini akan membahayakan," ujar Nova saat mengunjungi kantor ANTARA di Jakarta, Sabtu (25/11/2023).

Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia diharapkan akan memasuki bonus demografi pada periode 2030-2040. Artinya, pada waktu tersebut, masyarakat Indonesia akan didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) dibandingkan usia nonproduktif.

"BPS memperkirakan setidaknya ada sekitar 64 persen usia produktif dari total penduduk yang diproyeksikan, yakni 297 juta jiwa," ungkap Nova.

Hal ini dianggap sebagai keuntungan besar untuk meningkatkan produktivitas Indonesia, mengingat kondisi tersebut menciptakan piramida populasi yang cembung.

BACA JUGA:Mitos Kesehatan Mental

"Jika itu terjadi, maka produktivitas Indonesia akan mengalahkan negara Jepang yang pada masa depan penduduknya lebih banyak yang berusia tua," jelas Nova.

Meskipun keuntungan demografi dapat diraih dengan meningkatkan jumlah wirausahawan muda, Nova menegaskan perlunya menjaga sumber daya manusia yang didominasi oleh usia produktif, termasuk dalam menghadapi meningkatnya kasus kesehatan mental di kalangan generasi muda.

"SDM dalam jumlah banyak bisa menjadi kekuatan, namun, juga bisa menjadi ancaman jika tidak teratur dengan baik," ujarnya.

Nova juga menyoroti faktor-faktor yang dapat tidak disadari, seperti perubahan iklim dan kondisi peperangan, yang dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan mental serius.

"Hal ini yang membuat WHO sampai membuat komisi khusus yang ditugaskan meneliti dan mengatasi hal ini tiga tahun ke depan," kata Nova.

Sumber: