Childfree Boleh dalam Islam

Childfree Boleh dalam Islam

JAKARTA, SIASAT.CO.ID-Wacana childfree kembali mengemuka setelah seorang selebgram Gita Savitri memantik perdebatan di jagat maya bahwa childfree bisa membuat awet muda. Sebagaimana kita ketahui dari pengakuan pasangan Gita Savitri dan Paul Partohap ini bahwa mereka memutuskan tidak memiliki anak. Childfree sendiri merupakan keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak mempunyai keturunan

Wakil Presiden Kiai Makruf Amin ikut menanggapi wacana tersebut. Menurutnya, tujuan pernikahan sendiri adalah memiliki keturunan agar umat manusia bisa bisa berkembang biak dan dapat mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya. Childfree bertentangan bahkan bertolakbelakang dengan tujuan pernikahan.

Pandangan dan pendapat Kiai Makruf sejalan dengan pandangan mainstream ulama fikih. Salah satunya disampaikan Abubakar Utsman bin Syato, penulis I'anah al-Tholibin, mengutip pandangan medis (al-atiba) waktu itu bahwa tujuan pernikahan (maqasid al-nikah) ada tiga: pertama, prokreasi (hifzu al-nasl), kedua rekreasi (nailu al-lazzat), dan ketiga kesehatan (tidak baik menimbun sperma di dalam tubuh).

‎قال الأطباء: ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل، وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن، ونيل اللذة.

Berbeda dengan pandangan masyarakat sekuler, kegiatan seksual dalam Islam harus dilembagakan dalam lembaga pernikahan. Kegiatan seksual tidak hanya untuk kesenangan, kenikmatan dan kepuasan seksual, melainkan bertujuan untuk menghasilkan keturunan. Dan itu harus dilakukan melalui lembaga pernikahan. Islam secara tegas menolak kegiatan seks bebas meskipun didasari kerelaan dan persetujuan dari kedua belah pihak (suka sama suka

Meski bertujuan mengembangbiakkan keturunan (li al-tanasul), para ulama menetapkan hukum asal pernikahan mubah (dibolehkan). Pernikahan bisa sunnah, wajib, hingga haram. Jika pernikahan dapat menimbulkan madharat atau berpotensi membahayakan mempelai putra maupun putri, maka hukumnya haram, seperti hukum pernikahan anak.

Tujuan berketurunan (hifzu al-nasl) seringkali menimbulkan problem dalam rumah tangga. Jika tidak didasarkan pada komitmen, perjanjian, dan kesepakatan (mitsaq ghalizah) dari kedua belah pihak, kehadiran seorang anak (keturunan) seolah menjadi keharusan. Rumah tangga tanpa kehadiran seorang anak seolah belum lengkap. Suami akan menuntut kepada istrinya untuk melahirkan seorang anak. Juga sebaliknya.

Jika merujuk pada hukum pernikahan itu sendiri, kehadiran seorang anak harusnya tidak wajib. Childfree, dalam arti tertentu, sebetulnya sejalan dengan Islam. Memiliki anak atau tidak merupakan pilihan, kesepakatan, dan hak kedua belah pihak. Sebagaimana dikatakan hujjatul Islam al-Ghazli dalam Ihya Ulumuddin ketika membicarakan hukum azl (mengeluarkan sperma di luar rahim). Menurutnya, azl tidak dapat dihukumi makruh atau bahkan haram karena tidak didukung nash yang jelas. Jika dicarikan hukumnya, kata al-Ghazali, azl lebih tepat dikiaskan (dianalogikan) kepada hukum tidak menikah (tarku al-nikah); tidak berhubungan suami istri setelah menikah (tarku al-jima); atau tidak mengeluarkan sperma setelah senggama (tarku al-inzal ba’da al-ilaj). Bahkan, al-Ghazali mengatakan boleh melakukan azl dengan tujuan agar istri awet muda.

Sekali lagi, childfree tergantung pada kesepakatan atau pilihan. Saya sendiri dan istri tidak mengikuti jejak Gita dan Paul. Kami sepakat ingin memiliki anak. Anak, dalam pandangan Islam, adalah “investasi” di dunia maupun akhirat. Anda tentu ingat hadis Nabi SAW: iza mata ibnu adam inqata’a amalu ila bi tsalatsin…

Salam
Jamaluddin Mohammad

Sumber: