Anjing Rakun adalah Wajah Kita Sebenarnya

Anjing Rakun adalah Wajah Kita Sebenarnya

MENYAKSIKAN kisah Rakun dalam film anime garapan Studio Ghibli tahun 1994 berjudul Pom Poko seperti melihat menara api di dalam gelap kesangsian. Rakun-rakun dari Hutan Tama itu menyalakan pelita dan menyebarkannya di sepanjang jalan masuk ke dalam diri—merefleksi penonton. Tak sekedar mengemasnya jadi hiburan yang ramah untuk anak-anak, sutradara Isao Takahata sekaligus menuntun semua kalangan penonton untuk mengenali isu lingkungan, terkait dengan konservasi dan pelestarian. Isu bersama sebagai warga dunia yang sangat dekat dan akrab dengan kita—kaum muda—sekarang. 

Arus deras modernisasi telah lama menenggelamkan kita pada sebuah paham antroposentrisme. Pandangan ini meyakini segala pusat alam semesta adalah manusia, alih-alih entitas di luarnya. Seiring berjalan paham itu kemudian berhasil memisahkan relasi manusia dan alam yang sebenarnya dalam pandangan tradisi maupun post-modern saling terpaut satu sama lain.

Relasi yang tadinya utuh itu jadi terpecah-pecah dan makin menebalkan sekat antar manusia dan kemanusiaannya sendiri, seperti kelakarnya salah satu tokoh dalam animasi—Gonta—pada salah satu adegan “Ternyata manusialah yang benar-benar rakun, dasar rakun busuk!”, sebuah bogem yang telak pada diri kita sebagai makhluk yang merasa paling punya akal. Ya, sudah pada tahap ge’er itulah kita dewasa ini.

Pada bagian lainnya juga kita akan merasakan bahwa pemikiran tokoh Shoukichi sebagai rakun terasa lebih manusiawi.

“Aku tidak ingin menyakiti manusia lagi. Sepertinya tidak benar bagiku. Tetapi bagaimana jika mereka tidak mau berhenti?” 

Ia mengatakan itu setelah para rakun melaksanakan perlawanan dengan jalan kekerasan pada manusia yang membabat Hutan Tama—habitat para rakun—untuk ekspansi pemukiman manusia.

Dari semua usaha yang telah dilakukan oleh para rakun untuk mempertahankan ruang hidupnya, akhirnya sampailah pada titik kulminasi di mana mereka menyatukan semua kekuatan untuk membuat ilusi Hutan Tama kembali pada masa sebelum merangseknya pembangunan. Sebuah tempat yang serba hidup, tempat yang sunyi tapi tak mencekam, tempat yang riuh tapi tak mengancam, dan tempat yang basah tapi tak menenggelamkan.

Apa tempat yang tepat untuk menggambarkan itu selain desa? Tentu tidak ada.  

Sudut pandang rakun yang diberikan pada bagian ini mengingatkan kita semua pada masa lalu bahwa ada suatu kondisi lingkungan yang kita tempati pernah seindah itu, di mana semua entitas alam berbagi ruang hidup bersama, semua berjalan dengan selaras. 

Lalu saat kekuatan ilusi yang diciptakan rakun itu perlahan memudar, keadaan yang indah kembali pada realitas yang tengah dialami olehnya yaitu kehancuran. Situasi ini jadi sebuah pengingat untuk kita bahwa lingkungan di sekitar kita sudah sebegitu rusaknya. Inilah yang saya sebut sebagai merefleksi diri ke dalam.

Refleksi ini menuntut kita melihat ke masa yang akan datang. Jika kita ewuh pakewuh atau bahkan sama sekali tak melakukan perubahan, sudah barang tentu akibatnya adalah kehancuran total, sekali lagi, buat peradaban manusia.

Film animasi Pom Poko ini akhirnya bukan hanya jadi sekadar hiburan di akhir pekan atau pengisi waktu luang kita di tengah hari-hari yang membikin lelah. Ia jadi sebuah pendidikan lingkungan hidup yang universal. Mengisi kekosongan materi pendidikan yang sudah sungkan untuk memasukan perkara lingkungan hidup, dalam upayanya yang paling mudah dan dekat dengan kita sebuah karya fiksi jadi tonggak utama dalam menghidupkan lagi kesadaran akan pandangan kita dalam memahami persoalan ekologi. 

Jika kesadaran kita baru sampai pada memilih prodak yang berlabel ramah lingkungan, haruslah itu berkembang sampai pada tahap yang menggerakkan kita pada langkah konkret untuk benar-benar punya keberpihakan pada lingkungan hidup.

Suara rakun di Hutan Tama pada 28 tahun silam terasa masih nyaring ke telinga kesadaran kita kaum muda. Pramoedya Ananta Toer sudah mengingatkan kita sebagai seorang yang terpelajar: coba bersetialah pada kata hati. Sebab bagaimana pun kita selalu merindukan yang indah-indah sebagai pengalihan rasa ketidakkaruan yang ditimbulkan oleh zaman yang sakit ini, dari sini biarlah kata hati yang akan menuntun kita pada keindahan itu, lain tidak!

Sumber: