Seni Sebagai Interupsi Dominasi

Sabtu 29-04-2023,10:32 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SIASAT.CO.ID - Seni atau art, memiliki makna "keindahan". Bermula dari abstraksi imajinatif yang terus dipompa akibat penyerapan terhadap realitas tersembunyi, sehingga termanifestasi melalui ekspresi dan vibrasi.

Seni, dengan narasi simboliknya begitu piaway dalam merefleksikan realitas, meski tak menjangkau secara keseluruhan, karena memang bukan tugas seni untuk menjelaskan realitas secara utuh. Seni hanya mereview fenomena dan menafsirkan gejala-gejala alam maupun sosial.

Seni pun tak berkewajiban memberikan solusi atas setiap permasalahan, karena kerja seni adalah dekonstruksi bukan mendikte gagasan.

Di era modern ini, seni telah mengalami reduksi - ia menjadi terbatas dan hanya berkutat pada keindahan artifisial. Seni diposisikan sebagai hiburan atau hiasan semata, disalahgunakan untuk memoles citra, menutupi realitas dengan sejuta pernak-pernik keindahan.

Baca Juga: Fenomena Agamawan dan Kejahatan Seksual

Para pelaku seni pun tak sedikit yang nimbrung dalam riuhnya desakan, tunduk di bawah pesanan, dikarenakan tak kuat menahan amukan lapar yang terus merongrong. Maka jangan heran, saat ini seni seperti kehilangan tajinya, karena tak lagi digunakan sebagai penyingkapan atas realitas sosial.

Kapitalisme yang didukung kekuatan modal, memaksa seni untuk berpihak pada kecendrungan pasar yang dikendalikan oligarki. Dari sini munculah istilah aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada komersialisasi. Di sini seni telah di tempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungan dengan keuntungan kapital.

Tak lagi peduli esensi, yang penting tampilan luar yang membahana dan bombastis, meski bugil makna. Setan kapitalisme telah menciptakan sistem yang secara radikal meng-anjlokan paradigma masyarakat ke level paling terendah.

Manusia kapitalis menghitung segalanya dengan prinsip untung rugi. Di masa kini, produk atau hasil cipta kebudayaan yang ada, semata-mata hanya dianggap sebagai hasil kreativitas yang bisa dijual secara ekonomis dengan prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari penjualan produk tanpa memikirkan fungsi utamanya.

Seni dipergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan masuk pada wilayah ekspresi- ekspresi artistik publik, dan secara riil membunuh kreativitas.

Baca Juga: Flexing dan Segala Kegilaannya

Sehingga pada titik ini, seni diperlakukan sebagai industri penghibur atau sekedar pelarian dari kejenuhan hidup. Hilang kesakralannya dalam gegap gembita hedonisme. Situasi ini diperparah dengan adanya kekuatan algoritma media sosial yang cendrung mengedepankan keinginan pasar. Akhirnya semua berebut viral dalam budaya latah yang menjijikan.

Medium Penyadaran

Pada hakikatnya seni hadir untuk melawan dominasi, perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya dan keadilan. Seni harus mengabdi pada kepentingan rakyat, surat gugatan terhadap status quo. Kekuatan seni yang berangkat dari kemurnian, pasti akan dengan sendirinya menampilkan vibrasi perlawanan dalam berbagai bentuk.

Oleh karena itu, ditengah disorientasi ini, penting untuk kita menghidupkan kembali suara kesenian yang lekat dengan gagasan kerakyatan, seni yang bertujuan menyadarkan masyarakat akan kondisi yang sedang terjadi. Sehingga memiliki implikasi signifikan untuk perubahan. Sebagaimana para pendahulu kita yang begitu antusias menjadikan seni sebagai alat transformasi dan penyadaran.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler