Sengkarut Masalah Polusi Jakarta: Sejarah hingga Batas Keampuhan Pohon

Rabu 03-05-2023,22:09 WIB
Reporter : Almeer al-Maliki
Editor : Almeer al-Maliki

SIASAT.CO.ID - Jakarta adalah pusat peradaban nusantara dengan segudang masalah. Tempat orang-orang mengadu nasib bagi pribadi dan keluarga. Belum tentu setiap harapan akan hidup yang lebih baik datang, bisa jadi setiap masalah yang menanti menggudang. Salah satunya adalah polusi. Polusi menjadi satu dari sekian banyak permasalahan yang hadir di Jakarta, seakan-akan setiap sudut ruang ibukota tidak pernah jauh dari benalu polusi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, polusi diartikan sebagai pengotoran, seperti pengotoran air, udara, dan lain-lain. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang pokok pengelolaan Lingkungan Hidup, polusi dipahami sebagai masuknya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau adanya perubahan tatanan lingkungan akibat dari kegiatan manusia dan proses alam.

Lebih jauh polusi berarti masuknya hal-hal tertentu ke dalam berbagai macam sumber daya alam yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam tersebut.

Rasa-rasanya mustahil jika kita menikmati kemajuan kehidupan perkotaan dewasa ini, tanpa melihat masalah yang turut bersembunyi dalam prosesnya. Jakarta dengan hiruk-pikuk kehidupannya yang berlangsung dua puluh empat jam tanpa henti memiliki hal tersebut.

Baca Juga: Jakarta: Sebuah Luapan Amarah

Jakarta dan polusi bagaikan dua hal yang erat berdampingan seiring waktu berjalan, tanpa keduanya bisa dipisahkan satu sama lain. Jika kita menduga bahwa ini baru saja terjadi di era kemajuan teknologi saat ini dengan asumsi utama yakni penanganan pemerintah yang dianggap acuh tak acuh, bisa saja hal tersebut tidak selamanya benar.

Sejarah Jakarta dan polusi

Melirik sedikit kehidupan kota Batavia sebelum berganti nama menjadi Jakarta, sejarah mencatat proses pencemaran terhadap lingkungan sudah terjadi pada masa tersebut. Semua ini dimulai dengan Molenvliet, sebuah kanal yang terletak di Batavia yang saat ini lebih dikenal dengan nama Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk sebagai penghubung Kota Tua dan Kota Baru Jakarta.

Kanal Molenvliet dialiri oleh aliran kali Ciliwung dan kali Krukut, yang pada masa-masa Batavia dibangun sebagai jalur perdagangan sekaligus kawasan pemukiman penduduk elite dan kawasan industri. Pada sisi kanan kanal, banyak terdapat industri penggilingan gula, produksi arak, dan pabrik pembuatan mesiu yang dilengkapi dengan kincir air. Oleh karena itu, kawasan ini disebut Molenvliet atau "Aliran Kincir".

Luc Nagtegaal merekam jejak pencemaran lingkungan kota Batavia yang dimulai dari tahun 1680 hingga 1743, di mana salah satunya dicatat bahwa di Batavia awal mula konsep pembangunan rumah bagi para penduduk yang semula dibangun menggunakan material kayu lalu berganti menggunakan material semen, terbentuk.

Kondisi Batavia saat itu serupa dengan negara-negara di Eropa yang sedang mengalami masa-masa revolusi industri, bahkan industri di Batavia didominasi oleh pabrik-pabrik mesiu dan pabrik semen, walaupun pada akhirnya pabrik mesiu ditutup oleh Daendels karena faktor ongkos produksi di Batavia yang dirasa jauh lebih mahal dibandingkan di Bengal, India.

Baca Juga: Arus Balik Lebaran Hari Ini: KAI Catat 40 Ribu Penumpang Akan Tiba di Jakarta

Industri-industri di Batavia memunculkan berbagai masalah. Mulai dari pabrik penyulingan arak, batu bata, gula, dan mesiu, menimbulkan pencemaran seperti air dan udara. Sebagai informasi, membuat mesiu membutuhkan bahan-bahan seperti sulfur dan kalium nitrat yang dalam prosesnya menghasilkan komponen-komponen kimia yang berbahaya.

Kemudian tungku bakar batu kapur yang menjadi bahan utama pembuatan semen pada saat itu, menghasilkan debu-debu kapur yang mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat Batavia.

"Penebangan pohon untuk perusahaan gula dan terlebih lagi untuk penanaman padi yang membutuhkan irigasi, memiliki dampak yang signifikan terhadap sungai-sungai. Setiap tahun sekelompok 'manusia lumpur Jawa' didatangkan dari Cirebon untuk mengeruk parit dan kanal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai bergeser dengan cepat," kata sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Baca Juga: Sekitar 4 Ribu Personel Gabungan TNI-Polri Diterjunkan Kawal Demo Buruh di Jakarta

Kontribusi masyarakat penyumbang polusi

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler