Flexing dan Segala Kegilaannya

Selasa 14-03-2023,08:43 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SIASAT.CO.ID - Flexing, adalah istilah yang akhir-akhir ini begitu akrab di telinga kita, terutama dalam mengambarkan sikap pamer harta maupun pencapaian. Fenomena ini beredar secara masif di media sosial. Para Pelakunya pun lintas profesi, mulai dari masyarakat umum, artis, Influencer hingga pejabat.

Di tengah gegap gempita modernitas dan riuhnya persaingan, orang berlomba-lomba membangun citra diri baru, tampil ideal dan sempurna di hadapan orang lain. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari pamer barang mewah, makanan mahal, mengumbar kegiatan, sampai kepada memamerkan kemolekan fisik yang difilter sedemikian rupa.

Perilaku tersebut didorong karena beberapa hal, antara lain kebutuhan untuk diakui. Dengan flexing, sang pelaku berharap mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang banyak, membuat orang lain terkesan, serta menciptakan image bahwa dirinya lebih sukses atau lebih berharga daripada orang lain. Hal ini sebagai bentuk penegasan eksistensi di tengah publik, walaupun bisa jadi yang ditampilkan tidak sesuai fakta. Orang flexing memang cendrung manipulatif demi menutupi segala kekurangan.

Faktor lainnya ialah krisis kepercayaan diri. Ketika seseorang merasa sedih atau rendah diri, dia cenderung akan membeli barang-barang mewah. Sebagaimana dijelaskan oleh penulis dan pakar pemasaran Martin Lindstrom, anak-anak dengan kepercayaan diri rendah akan lebih mengandalkan memakai barang-barang high-end ketimbang mereka dengan rasa percaya diri yang tinggi.

Baca Juga: Anjing Rakun adalah Wajah Kita Sebenarnya

Mereka merasa tertekan bila tidak berada di level yang sama dengan orang di sekitarnya, pada tahap tertentu mereka bisa saja melakukan hal-hal gila demi mendapatkan perhatian dan afirmasi dari orang lain.

Sebenarnya bila flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial, seperti kompetensi dan personalitas yang baik, tentu tidak masalah. Akan masalah jika flexing dijadikan satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri.

Dorongan Pola Hidup Konsumtif

Sebagai anak kandung dari kapitalisme, flexing telah menanamkan keyakinan bahwa pola hidup hedonisme dan matrealistik merupakan sebuah keniscayaan, sehingga dari sana membentuk pribadi yang lebih konsumtif. Kebahagiaan dan keberhasilan diukur dari kekayaan dan kemewahan. Puncak dari semua ini ialah Konsumerisme.

Pada titik ini, uang seperti Agama. Dalam bahasa Marx, telah menjadi fetis, benda mati yang mempunyai kekuatan supranatural. Uang menjadi ukuran derajat manusia. Manusia yang paling mulia ialah yang paling banyak uangnya dan giat membeli. Pahlawan yang dielu-elukan di zaman ini dan gambarnya dipajang di mana-mana adalah “heroes of consumption”, bukan “heroes of production”.

Baca Juga: Filsafat dan Problem Eksistensi Generasi Muda

Saya tidak ingin mengatakan bahwa uang tidak penting. Uang sampai kapanpun tetaplah penting. Yang kita tolak ialah sikap ketundukan dan penghambaan terhadap uang yang dapat menciptakan sifat keserakahan, tak lagi peduli terhadap benar dan salah ataupun baik dan buruk.

Dampak Sosial Dari Flexing

Sikap flexing berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial, yang pada gilirannya bisa menjadi bom waktu. Memperjelas ketimpangan antara si kaya dan miskin, menciptakan budak-budak industri dengan ekspektasi tinggi. Persaingan digalakkan, sikap syukur dimatikan. Tak ada lagi nurani, tak ada lagi empati. Semuanya berlomba saling show up dalam balutan iri dan dengki.

Kita dapat membayangkan ketika para artis dengan bangga memamerkan barang mewah diberbagai platform media sosial, namun di waktu yang sama, seorang ibu tertunduk lesu sambil membelai anaknya di sudut jalan-menanti datangnya makanan. Bagaimana perasaan keluarga kecil yang hidup dipojokan kontrakan kumuh ketika melihat para anak pejabat pamer harta tanpa jeri payah, bahkan menampilkan kepongahan di atas derita orang-orang susah?

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler