Tauhid Adalah Pembebasan

Selasa 28-03-2023,08:36 WIB
Reporter : Reza Al-Habsyi
Editor : Reza Al-Habsyi

SIASAT.CO.ID - Makna Tauhid seringkali ditafsirkan sebagai ajaran normatif, yang sama sekali tidak mempunyai muatan filosofis di dalamnya, sehingga ajaran tersebut terkesan dogmatis dan harus diterima tanpa boleh mentelaah lebih jauh. Hal ini tentu berimplikasi terhadap pemahaman intelektual masyarakat muslim kebanyakan yang cenderung gagap menghadapi terpaan modernisasi pemikiran Barat. Oleh karenanya, dirasa perlu menjelaskan ajaran-ajaran Islam khususnya bagian yang paling fundamental, yakni tauhid.

Secara filosofis, tauhid sangat multidimensional, artinya tidak hanya memiliki makna tunggal “Iman terhadap satu Tuhan” saja, sebagaimana ajaran monoteism lainnya. Lebih dari itu, tauhid juga memiliki dimensi sosiologis yang bertitik berat pada isu kesetaraan, yang berarti penolakan terhadap segala bentuk feodalistik.

Kesetaraan tersebut diterjemahkan melalui nilai-nilai persamaan dalam memperlakukan setiap insan tanpa diskriminatif.

“Hai (seluruh) manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seseorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Baca Juga: Menelisik Akar Polemik antara Ateisme dan Teisme: Studi Epistemologi

Ayat di atas menegaskan bahwa kemuliaan seseorang bukan diraih atas dasar latar belakang yang bersifat determinatif, melainkan melalui capaian-capaian prestasi spiritual dan intelektual. Dengan kata lain, Al-Qur’an secara tegas menolak pola-pola primordaliaisme yang akan berimplikasi pada sikap hegemonistik manusia atas manusia lainnya.

Pakem ini diaktualkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri (Sang Utusan), beliau mencoba mendobrak budaya jahiliyah yang penuh dengan rasisme. Kala itu orang dibedakan dari asal-usulnya, kabilahnya, bahkan gender juga turut mempengaruhi strata sosial pada saat itu.

Di Balik Penolakan Tauhid Para Tiran

Mengapa sepanjang sejarah ajaran tauhid ditolak oleh raja-raja atau penguasa zalim? Pada umumnya para pemikir menerangkan hal ini hanya pada aspek teologis saja tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, terutama aspek sosio kultural masyarakat setempat serta dampak ekonominya.

Sebagaimana diketahui, ajaran yang dibawa oleh para Nabi selalu berpusat pada pembebasan terhadap perbudakan. Jelas hal ini bertolak belakang dari kehendak penguasa despotik yang cenderung bertindak eksploitatif terhadap masyarakat dengan segala ancaman dan iming-iming surga.

Oleh karenanya, tak jarang para penguasa tersebut mengklaim diri sebagai Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Fir’aun dan Namrud, atau paling tidak mengaku sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mesti dipatuhi segala kehendaknya, mirip seperti yang dilakukan oleh Abu Jahal, Abu Lahab, kawan kawannya.

Baca Juga: Gen Z Mesti Tahu Pentingnya Memahami Pribumisasi Islam

Dengan klaim-klaim tersebut, 'tuhan-tuhan bertulang' ini seakan mempunyai legitimasi kuat untuk melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memperbudak masyarakat serta mengeksploitasinya sedemikian rupa. Artinya, membawa-bawa nama Tuhan untuk kepentingan hasrat duniawi merupakan modus purba yang sejak dahulu sudah dilakukan.

Untuk itu, Nabi Muhammad SAW datang dengan ajaran tauhid yang bersifat egaliter, yang di dalamnya memuat nilai-nilai humanistik. Beliau mencoba mendobrak tatanan tersebut yang sudah lama terbentuk. Dari sinilah timbul benturan keras di antara dua ajaran ini.

Bagaimana tidak, Muhammad SAW dianggap telah mengganggu hegemoni penguasa Arab Quraisy dan menjadi ancaman nyata bagi perekonomian mereka. Ini bisa terlihat ketika mereka mengajak kompromi dengan menawarkan tahta, harta, dan wanita kepada Nabi agar tidak mengusik ritual penyembahan berhala yang mereka buat untuk meraup harta masyarakat. Namun upaya tersebut gagal karena ditolak mentah-mentah oleh nabi.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler