Fenomena Agamawan dan Kejahatan Seksual

Fenomena Agamawan dan Kejahatan Seksual

KITA baru saja dihebohkan dengan adanya berita terkait tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang Pemimpin agama Buddha Tibet, Dalai Lama Tenzin Gyatso, terhadap seorang bocah. Insiden tersebut beredar secara luas di media sosial sehingga menimbulkan beragam reaksi dan polemik.

Fenomena semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru. Di Indonesia sendiri, kita pernah dikagetkan oleh kasus Herry Wirawan, seorang pemimpin pasantren yang mencabuli 13 santriwati hingga hamil.

Atau kasus yang belum lama ini terjadi, Fahim Mawardi yang dilaporkan mencabuli 11 santriwati dan 4 Ustazah, dan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang akan membuat jidad kita mengerut.

Kita lantas bertanya, kok bisa seorang agamawan yang katanya dekat dengan Tuhan justru melakukan kejahatan seksual? Bukankah tokoh agama semestinya menjadi teladan bagi masyarakat dan menjaga moralitas umat, paling terdepan mempraktekkan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam agama itu sendiri.

Baca Juga: Idealisasi Agama dan Nasionalisme: Worldview Manusia Indonesia

Paradoks ini mesti diungkap secara serius. Saya melihat ada berbagai faktor yang melatarbelakangi. Antara lain, kuatnya dogmatisme dalam pola keberagamaan. Agama seringkali diterjemahkan dalam bentuknya yang kaku, tidak memberikan peluang manusia untuk berfikir dan menggunakan nalarnya secara maksimal.

Pintu kritisisme ditutup rapat-rapat, sehingga yang mempertanyakannya bisa dianggap suul adab terhadap ajaran Tuhan. Dengan kata lain, agama adalah ruang bebas akal.

Pandangan tersebut telah menjadi mainstream di tengah masyarakat kita, agama dianggap vis-a-vis dengan rasionalitas. Bisa jadi ada motif tertentu di balik pandangan tersebut.

Di samping itu, penghormatan berlebih terhadap sang tokoh agama juga menjadi faktor utama. Ada semacam keyakinan kuat tentang kesucian guru spiritual. Guru selalu benar, setiap tindakan dan prilakunya walau tak umum, harus ditafsirkan sebagai sebuah kebaikan.

Baca Juga: Agama dan Cek Kosong

Belum lagi retorika yang dibalut nasehat-nasehat indah, semacam obat bius yang menidurkan nalar para jemaat. Tidak sedikit yang menjual berkah secara suka rela, ada pula yang menakut-nakuti umat dengan ayat dan celotehan kualat.

Dari sanalah peluang-peluang kejahatan terbuka lebar. Tentu sebagai sosok yang memiliki power/kharismatik, sang guru dapat berbuat apapun sekehendak mungkin.

Di sisi lain penafsiran sewenang-wenang terhadap makna teks suci—yang tak jarang bercampur aduk dengan tujuan tertentu, dapat secara langsung mengarah pada tindakan kejahatan. Diciptakanlah mitos-mitos, bahwa ia adalah bla-bla-bla. Maka dengan begini, kejahatan seksual sangat mungkin terjadi.

Bila kita jeli, fenomena ini sebenarnya nampak umum terjadi di tengah masyarakat. Para pengikut dijadikan sebagai objek maupun komoditas, baik itu objek konsumsi, objek produksi, objek afirmasi, ataupun objek pelampiasan nafsu birahi. Agama suci ini dicemari oleh para "predator berjubah" demi melampiaskan syahwat kuasa.

Sumber: