Merenungkan Kopassus di HUT ke-71 dan Ide Separatisme Papua

Merenungkan Kopassus di HUT ke-71 dan Ide Separatisme Papua

Oleh: AM Hendropriyono

(Komandan Detasemen Tempur 13 Pasukan Para Komando tahun 1981 dan Komandan Operasi Sandi Yudha Nanggala 13 tahun 1977)

KONFLIK politik mengenai Irian Jaya antara kita dengan Belanda sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Namun, hal itu tidak selesai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan pada tahun 1960-1963 dilanjutkan melalui perundingan Middleburg dan perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS).

Kepentingan AS di era perang dingin tersebut adalah membendung komunisme di Asia dan menjauhkan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet. Akhirnya melalui Referendum Act of Free Choice atau Pepera pada tahun 1969 oleh PBB yang didominasi oleh AS, Irian Jaya diakui dunia masuk dalam wilayah RI.

Kepentingan AS pada waktu itu adalah mendirikan perusahaan tambang tembaga di Ertsberg pada tahun 1970, namun pemerintah RI tidak memberi syarat kepada AS untuk ikut memerangi ide separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah berdiri sejak tahun 1963 atas dukungan Belanda.

Selanjutnya Belanda mendorong terlaksananya proklamasi negara Papua pada tanggal 1 Juli 1971, tanpa adanya gugatan politik yang signifikan dari pemerintah RI. Demikian juga ketika terjadi perpecahan internal OPM menjadi faksi Pemulihan Keadilan (Pemka) pimpinan Jakob Prai, sarjana lulusan Universitas Cenderawasih dan faksi Tentara Pembebasan Nasional (TPN) pimpinan Seth Rumkorem perwira lulusan Secapa Angkatan Darat 1964, tidak ada manuver politik untuk menyusun kekuatan menghadapi perkembangan situasi tersebut.

Baca Juga: Seusai Baku Tembak dengan KKB, 5 Prajurit TNI Dinyatakan Hilang

Tantangan yang Dihadapi

Dengan demikian maka tantangan yang harus dijawab oleh Kopassus adalah, melaksanakan fungsi operasional pertahanan keamanan di Papua tanpa dukungan kondisi politik terkait yang tepat. Pada tataran politik sejatinya baik disimak bagaimana manuver politik kerajaan Maroko, ketika menghadapi isu separatisme Front Polisario yaitu suatu gerakan untuk kemerdekaan Sahara-Barat yang kaya dengan emas.

Gerakan separatis bersenjata tersebut pada tahun 1979 justru didukung PBB, namun Maroko pada 1989 telah berhasil gemilang mengatasi Polisario dengan menggalang kekuatan diplomasi politik Uni Eropa, AS dan negara-negara Uni-Afrika, untuk menghentikan kemauan separatisme Polisario yang semula didukung oleh PBB tersebut.

Juga ketika Spanyol menghadapi gerombolan bersenjata ETA (Euskadi Ta Askatasuna) yang beraspirasi separatisme Basque sejak 1959. Pemerintah Spanyol, Perancis dan AS pada tahun 1971 menetapkan ETA sebagai pasukan teroris sehingga Spanyol berhasil menekan ETA pada 20 Oktober 2011 untuk menyerah dan mengumumkan gencatan senjata secara permanen.

Dasar Operasional

Pancasila sebagai dasar filsafat negara diwujudkan nilai-nilainya di bidang Hankam dengan bentuk partisipasi rakyat dalam pembelaan negara. UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

UU RI nomer 34 Tahun 2004 menyatakan bahwa Hankamrata adalah sistem yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional.

Baca Juga: Cerita Puspen TNI Soal Baku Tembak dengan KKB hingga Gugurnya Pratu Arifin

Ancaman, Gangguan, dan Hambatan

Seiring dengan perkembangan hubungan Indonesia dengan AS yang secara terpendam menurun, karena kita tidak mau memusuhi musuhnya, yaitu China, maka berhamburan serangan-serangan hoaks dan simulakra dari NGO-NGO asal AS di medan laga siber. Isu politik yang diangkat adalah kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap orang Papua.

Sumber: