Gelojoh Jokowi atas Kuasa

Gelojoh Jokowi atas Kuasa

PERSAMUHAN Presiden Joko Widodo bersama lima pimpinan partai politik pada awal April lalu menjadi afirmasi atas banyak ihwal yang menjadi syak wasangka publik. Ia membuktikan tabiatnya untuk selalu berupaya mengkonsolidasikan seluruh kekuatan partai politik agar setia bersamanya. Dimulai dari ikhtiar menyokong Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), hingga akhirnya menjajaki peleburan lima partai politik melalui Koalisi Kebangsaan.

Cawe-cawe Jokowi tentu dibenarkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut dirinya; “sudah masuk tim koalisinya Pak Jokowi sekarang.” Dalam pertemuan 2 April lalu itu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan juga memberi penegasan serupa bahwa lima partai politik bakal membangun koalisi besar yang dinamai sebagai Koalisi Kebangsaan. Koalisi itu terdiri atas PAN, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Belakangan PPP dikabarkan merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Kelima partai ini bahkan memberi garansi—meski kurang dari setahun bakal lengser—Jokowi tetap seorang pengepul. Satu-satunya presiden di luar struktur partai politik yang mampu menyatukan banyak kepentingan pada hajatan pemilihan umum. Meski belakangan, ia menepis kritik ihwal tudingan cawe-cawe dalam urusan partai politik dalam menentukan calon presiden yang diusung. “Tolonglah mengerti bahwa kami ini juga politisi, juga pejabat publik,” kata Jokowi pada Kamis, 4 Mei 2023.

Lumrah bila Jokowi berambisi ikut campur tangan dalam urusan partai politik. Tentu karena ia bakal menerima banyak keuntungan bila koalisi yang dikonsolidasikan menang pada Pemilihan Umum 2024. Di antaranya upaya untuk melanjutkan proyek-proyek ambisius yang berpotensi mangkrak tanpanya. Setidak-tidaknya, menjamin penguasa berikutnya tak mengusik sengkarut pemerintahan masa lalu. Ini analisa yang realistis, pun sudah jamak diketahui publik.

Baca Juga: Surya Paloh: Nasdem Sudah Tak Dibutuhkan di Koalisi Jokowi

Tepat sebulan setelah persamuhan pertama, pertemuan serupa terjadi lagi pada Selasa, 2 Mei lalu. Kali ini Jokowi mengundang lima pimpinan partai politik pendukungnya di Istana Negara, ditambah kehadiran Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Hanya Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang tak diundang dengan dalih memiliki koalisi yang berbeda. Selorohnya, tak elok jika pihak lain mengetahui strategi besar koalisi yang sedang ia konsolidasikan.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kiri), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kedua kiri), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kedua kanan) dan Plt Ketua Umum PPP Mardiono (kanan) menyatukan tangan usai silaturahmi partai koalisi pendukung pemerintah dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 2 Mei 2023. Dalam silaturahmi tersebut mereka juga membahas kondisi bangsa terkini serta sejumlah isu-isu strategis. (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay).

Rapat itu membahas semua hal berkaitan arah politik bernegara, hingga pemimpin yang layak meneruskannya. Tak terkecuali kehendak Jokowi memasangkan Ganjar Pranowo dengan Prabowo Subianto. Meski sebenarnya niat itu terlalu ambisius lantaran Prabowo pasti tak akan sudi menjadi wakil Ganjar. Pun sebaliknya, PDIP sebagai partai pemenang pada Pemilu 2019, muskil untuk menerima berkoalisi dengan menempatkan Ganjar sebagai calon wakil presiden.

Hematnya, siapa pun yang bakal menang, itu buah dari andilnya Jokowi sebagai the king maker. Mungkin baginya, kekuasaan adalah candu. Sama seperti Sukarno dan Soeharto yang sampai harus menempuh jalan pelengseran. Tanda-tanda tabiat kerakusan penguasa ini muncul dari hegemoni; tak ada yang layak kecuali Jokowi. Seolah kelanggengan dapat menjamin kelangsungan program pembangunan di masa mendatang. Ditambah hasil survei politik yang menyebut ia masih disokong kepuasan publik atas kinerjanya.

Nah, diam-diam sejak 2020 Jokowi berupaya mempertahankan jabatannya dengan berbagai cara. Kita masih ingat bagaimana Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Andi Widjajanto disebut-sebut berada di balik penyusunan skenario perubahan masa jabatan presiden dari maksimal dua menjadi tiga periode. Laporan majalah Tempo edisi 5 Maret 2022 menunjukkan Andi melalui lembaga kajian Laboratorium 45 atau Lab45 merumuskan skenario amandemen konstitusi. Meski pada akhirnya rencana mengubah pasal masa jabatan pada Undang-undang Dasar 1945 itu digagalkan banyak pihak.

Baca Juga: Jokowi Mendapat Hujan Kritik, Usai Mengumpulkan 6 Ketum Parpol di Istana

Ketika wacana bergulir, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto muncul dengan meminjam mulut petani sawit untuk mencuatkan gagasan perpanjangan masa jabatan bagi Presiden Joko Widodo. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar juga turut memukul gong usulan perpanjangan masa jabatan dua tahun. Disusul pernyataan Zulfikli Hasan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Hematnya, semua isu yang mereka embuskan sia-sia belaka karena perlawanan publik. Justru memicu sentimen buruk yang diterima Jokowi di kemudian hari.

Tapi sepertinya Jokowi tak pernah putus asa setelah semua upayanya melanjutkan kekuasaan gagal. Sejak Mei tahun lalu ia disebut terlibat dalam pembentukan KIB. Bahkan kini sedang mengkonsolidasikan pembentukan koalisi besar yang digawangi sejumlah partai penyokongnya. Meski agaknya terlalu mustahil hal itu dapat terjadi. Toh, pada akhirnya, Jokowi tetap menggantungkan angan-angan pada kepentingan masing-masing partai politik.

Tersebab Kerakusan Menjadi Penguasa

Niccolò Machiavelli selalu membawa kita pada paradigma politik kekuasaan yang destruktif. Menempatkan politik bukan sebagai alat untuk memperbaiki peradaban kemanusiaan, atau menjadikan hukum sebagai pijakan, dan pembentuk moralitas sebagai pegangan. Justru sebaliknya, pemaknaan terhadap politik sebatas hanya pada hasrat seorang penguasa untuk terus berada pada tampuk kekuasaan. Kata dia, penguasa jika ingin terus bertahan, haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, pun kejam sekaligus dapat selembut bulu domba.

Pemikir Italia pada abad ke-16 itu bukan sekadar seorang pragmatis yang menangkap fenomena sosial pada zamannya. Machiavelli pada akhirnya berhasil memisahkan teori politik dan etika. Seolah memberi petunjuk bagaimana seorang pemimpin menggunakan naluri, mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Tak terkecuali terus menerobos belenggu meski kekuasaan sudah dibatasi pada periode waktu. Tapi pun tanpa pikiran Machiavelli, hakulyakin penguasa selalu rakus tanpa perlu menunggu membaca The Prince (1932), sebuah magnum opus Machiavelli.

Sumber: