Komunitas Sekitar Kampus: di Mana Mereka Diletakkan dalam Jejaring Serikat Tenaga Pendidik?

Komunitas Sekitar Kampus: di Mana Mereka Diletakkan dalam Jejaring Serikat Tenaga Pendidik?

SEJAK digulirkannya Peraturan Menteri PAN RB Nomor 1 Tahun 2023, wacana pembentukan serikat di komunitas kampus, khususnya dosen, semakin berkembang luas. Selain dosen memang bagian dari buruh, karena menjual tenaganya untuk memproduksi sekaligus mentransfer pengetahuan dan menerima upah sebagai imbalannya, dosen juga tidaklah bekerja sendirian. Ada peneliti, asisten peneliti, staf administrasi bahkan pembantu umum dan petugas keamanan.

Oleh sebab itu, pembentukan serikat tidak bisa terbatas pada dosen saja, melainkan harus mencakup seluruh elemen di lingkungan atau komunitas kampus.

Di sisi lain, ada seruan bagi serikat tenaga pendidikan untuk membangun jejaring dengan serikat buruh di sektor lain. Seruan ini ditujukan agar tidak muncul anggapan bahwa para akademisi merupakan pekerja yang lebih “tinggi” dibandingkan dengan pekerja-pekerja lainnya. Dosen, peneliti, dan asisten peneliti adalah buruh yang sama derajatnya dengan buruh-buruh lain seperti buruh manufaktur, buruh tani, dan lain sebagainya.

Melihat seruan ini, saya teringat dengan salah satu refleksi Silvia Federici (2019) mengenai arti kampus sebagai “the commons” (sumber daya bersama). Kampus sebagai the commons, bagi Federici, bukan hanya tentang menyusun kurikulum yang adil dan memperjuangkan biaya pendidikan yang terjangkau semata.

Sebelum bicara soal kurikulum dan biaya pendidikan, bagi Federici, kita harus memikirkan terlebih dahulu tentang “syarat material” yang menopang kampus.

https://youtu.be/8u7Je9dzkwU

Apa maksud Federici?

Dalam konteks ini, Federici berbicara soal sejarah pendirian kampus, hubungan kerja di dalam kampus, proses produksi dan distribusi pengetahuan, dan—yang terpenting—hubungan kampus dengan komunitas sekitarnya. Kampus, sebagai sebuah institusi, tidaklah berdiri otonom atau bebas.

Sebaliknya, asal-usul dan perkembangan kampus sangat terikat dengan perubahan sosial-politik yang lebih luas. Sebagai contoh, ketika rezim kekuasaan berganti, berganti pulalah corak produksi pengetahuan dan orientasi kampus (Hadiz & Dhakidae, 2006).

Di zaman kapitalisme, ketika seluruh aspek kehidupan dikomodifikasi, diletakkan ke dalam mekanisme pasar, dan diarahkan untuk kepentingan akumulasi keuntungan bagi segelintir orang (Polanyi, 2001), begitu pula yang terjadi pada kampus. Kampus diarahkan untuk menjadi institusi penyedia tenaga kerja, komodifikasi pengetahuan, dan legitimasi ilmiah bagi proyek-proyek perusahaan semata (Callinicos, 2006).

Klaim ini dibuktikan dengan munculnya pemangkasan subsidi, manajemen korporatis yang sangat terpusat ala business enterpreneurial, tingginya beban dan rendahnya upah pekerja kampus, dan publikasi riset-riset yang disponsori dan ditentukan oleh para pebisnis.

Jika orientasi kampus diarahkan pada mekanisme pasar dan kepentingan pebisnis, maka apapun yang menghambat, harus dilenyapkan. Objek yang dilenyapkan tidak hanya terbatas pada kultur pengetahuan dan teori-teori kritis saja, tetapi juga pada komunitas-komunitas—beserta hubungan sosial yang sudah berkembang—di sekitar kampus.

Baca Juga: Kantin Kampus: Solusi Intelektual Kekinian

Federici memberikan sebuah kata kunci: enclosure. Dalam sejarah berdirinya kampus, proses enclosure atau penutupan akses masyarakat sekitar terhadap lahan kerap kali terjadi. Di abad kapitalisme ini, kisah tentang pendirian sebuah kampus, yang diarahkan bagi kepentingan para pebisnis, sering kali merupakan kisah-kisah penggusuran.

Sumber: