Masih Soal Kerja dan Profesionalitas

Masih Soal Kerja dan Profesionalitas

Dalam tulisan sebelumnya, Menyoal Kerja dan Profesionalitas, saya berkesimpulan bahwa kalau seseorang sakit saat bekerja, hal itu bukanlah karena ia tak profesional. Ia sakit justru karena kondisi kerjanya. Kerja di sini, sebagaimana juga sudah saya katakan, mesti ditempatkan di dalam kerangka kapitalisme. Dalam sejarah kemunculan dan perkembangannya, kapitalisme selalu bersandar pada kerja.

Mengapa demikian? Karena hanya melalui kerjalah seluruh nilai (baik nilai guna, nilai tukar, dan nilai lebih) dapat diciptakan. Pertanyaannya, di manakah kerja itu terletak? Karl Marx, dalam Capital jilid pertama, menyebut istilah ‘tenaga kerja’, yakni kapasitas untuk bekerja. Dan ini terdapat dalam tubuh para pekerja—selain juga tubuh spesies lainnya seperti binatang, tumbuhan, air, tanah, dsb. Marx berkata,

“tenaga kerja di sini maksudnya adalah kapasitas kerja, sebuah agregasi kemampuan mental dan fisik yang berada dalam bentuk fisik manusia, yakni makhluk yang hidup; kemampuan yang ia gerakkan kapanpun ia memproduksi nilai guna.”

Tenaga kerja ini merupakan salah satu komoditas ‘kunci.’ Dikatakan kunci karena hanya melalui komoditas yang satu inilah komoditas-komoditas lainnya dapat diciptakan. Untuk menciptakan komoditas dan nilai, seorang kapitalis harus membeli sebuah komoditas “yang nilai gunanya memiliki cirikhas sebagai sumber nilai, yang ketika digunakan, ia menjadi tempat objektifikasi kerja atau penciptaan nilai”, ucap Marx.

Baca Juga: Iran dan Irak Komitmen Perluas Kerja Sama

Karena tubuh manusia menyimpan kapasitas kerja, maka kapitalisme, sedari awal kemunculannya hingga saat ini, sangatlah terobsesi dengan tubuh para pekerja. Jason W Moore dan Raj Patel, dalam A History of the World in Seven Cheap Things, sempat menyinggung eksperimen saintifik para pemilik perkebunan di Madeira terhadap tubuh para pekerja itu. Dan para budak menjadi kelinci percobaannya.

Bagi Moore dan Patel, Madeira menjadi laboratorium tempat menguji sejauh mana batas daya tahan tubuh para budak dalam bekerja dan teknik pengaturan kerja seperti apa yang tepat agar produktivitas perkebunan tetap tinggi. Hasil eksperimen ini, berabad-abad setelahnya, diterapkan di pabrik-pabrik milik Inggris.

Dalam prosesnya, tak sedikit korban berjatuhan. Philip Curtin, dalam The Rise and Fall of the Plantation Complex, berkata bahwa 90% populasi budak mati akibat praktek uji lab itu. Dan hasilnya menjadi landasan hubungan kerja upahan dalam perkembangan kapitalisme industrial di Eropa, khususnya Inggris.

Di Inggris, daya tahan tubuh para pekerja betul-betul dieksploitasi hingga batas minimum. Para pekerja memang tak dibiarkan mati seperti budak-budak di Madeira. Tapi, kondisi kesehatan mereka ditekan sampai di titik “asalkan mereka masih bisa hidup dan bekerja.” Dengan begitu, pekerja masih dikatakan sehat asal masih mampu mereproduksi fungsi hewaninya (seperti makan, minum, dan prokreasi) dan fungsi kerjanya (memproduksi komoditas).

Baca Juga: Gelojoh Jokowi atas Kuasa

Meski tubuhnya menjadi sarang penyakit, itu tak soal. Selama mereka masih bernafas dan dapat menciptakan nilai lebih bagi para majikannya, kondisi itu dianggap normal-normal saja. Dampak dari kondisi ini adalah hancurnya kesehatan tubuh para pekerja dalam skala yang massif dan sistematis. Frederick Engels, dalam risetnya berjudul Conditions of the Working Class in England, sampai mengatakan bahwa

“kebesaran industri Inggris dapat terpelihara hanya melalui perlakuan barbar terhadap para buruh pabrik, penghancuran atas kesehatan mereka, dan pembusukan sosial, fisik, dan mental dari seluruh generasi buruh”

Dengan rinci, Engels menceritakan kondisi kesehatan para pekerja di berbagai kota industri di Inggris. Di tempat kerja, mereka terpapar bahan kimia, terbebani beban kerja yang teramat berat, dan waktu kerja yang teramat panjang. Pulang kerja, mereka harus tidur di tempat-tempat kumuh, lembab, penuh udara kotor, dan menjadi sarang mutasi berbagai macam bakteri. Penularan penyakit, cacat, dan bahkan kematian adalah soal sehari-hari yang biasa dialami para buruh.

Hancurnya kesehatan yang dialami buruh di Inggris juga dialami oleh buruh-buruh di tempat lain. Di sebuah pabrik kilang minyak di Meksiko, sebagaimana direkam oleh Myrna Santiago dalam Work, Home, and Natural Environment, misalnya. Seperti yang sudah saya singgung di tulisan sebelumnya, paparan bahan kimia dalam dosis besar, suhu yang kelewat panas, dan sanitasi yang buruk menghasilkan varian penyakit yang tak segan menimpa para buruh. Dan penyakit itu tak berhenti menjangkiti si buruh selama bekerja saja, namun mengikutinya selepas mereka bekerja. Mengapa? Karena tempat tinggal mereka terletak di sekitaran pabrik. Ketika mereka tidur, pada saat yang sama mereka menghirup senyawa hidrokabron beracun melalui air dan udara yang dikeluarkan dari cerobong asap dan saluran air milik pabrik.

Sumber: