Pakar: Pencegahan DBD Bergantung pada Penggerakan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pakar: Pencegahan DBD Bergantung pada Penggerakan dan Pemberdayaan Masyarakat

Ilustrasi- Nyamuk penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD).--Foto: ANTARA

SIASAT.CO.ID - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. A Moeloek, Sp.M(K), menyatakan bahwa pencegahan demam berdarah dengue (DBD) bergantung pada penggerakan dan pemberdayaan masyarakat melalui 3M Plus, selain pengendalian vektor.

Menurut Prof. Nila Moeloek, 3M Plus meliputi menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, mendaur ulang barang-barang yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan abate, serta tambahan lainnya seperti menanam tanaman pengusir nyamuk, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, dan menggunakan obat anti-nyamuk.

"Ini masih dianggap sebagai cara efektif untuk mengurangi populasi nyamuk dengan menghilangkan tempat mereka berkembang biak," kata Prof. Nila, yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Pendiri Farida Nila Moeloek Society Program, di Jakarta Rabu kemarin.

Prof. Nila menjelaskan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, konsisten, dan seringkali tidak mudah merupakan tantangan dalam upaya pencegahan DBD, terutama di Indonesia.

Di sisi lain, upaya pencegahan DBD juga melibatkan vaksinasi yang telah diperkenalkan dan secara bertahap digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia.

BACA JUGA:Annisa Pohan dan Srikandi Demokrat Dorong Kesehatan Perempuan Jelang Hari Ibu Nasional

Menurut Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), vaksin dengue merupakan vaksin hidup yang digunakan pada usia 6-45 tahun, dengan jarak pemberian vaksin pertama dan kedua selama tiga bulan.

Setelah itu, pemberian vaksin ulangan setiap empat tahun belum diperlukan karena tingkat antibodi masih tinggi.

Prof. Nila menyebutkan bahwa DBD masih merupakan masalah endemis di Indonesia dan seringkali menyebabkan kematian.

Data dari Kementerian Kesehatan pada awal tahun 2023 hingga minggu ke-47, Januari-November, mencatat adanya 83.302 kasus DBD di 465 kabupaten di 34 provinsi, dengan angka kematian sebanyak 574 kasus.

Selain itu, berdasarkan data tahun 2021, sekitar 36 persen dari total 90.865 kasus DBD terjadi pada kelompok usia produktif, dengan rentang usia 15 hingga 44 tahun.

BACA JUGA:Guru Besar UI: Sosialisasi Protokol Kesehatan Perlu Ditingkatkan di Media

DBD pada anak-anak juga menjadi penyebab kematian keenam tertinggi.

"Tiga dari empat kematian akibat dengue paling sering terjadi pada anak usia 6-14 tahun," ungkap Prof. Nila.

Sumber: