Pengusaha Ritel Peringatkan Pemerintah Soal Kenaikan PPN 12 Persen

Pengusaha Ritel Peringatkan Pemerintah Soal Kenaikan PPN 12 Persen

Keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dikeluhkan oleh para pengusaha ritel. --Foto: Youtube Krapu TV

SIASAT.CO.ID - Keputusan pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dikeluhkan oleh para pengusaha ritel. Dalam podcast Evaluasi di KrapuTV, Danang Girindrawardana dan Roy Nicholas Mandey, pelaku bisnis ritel, mengkritik kenaikan tarif pajak dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku pada tahun 2025.

Roy menyatakan bahwa kenaikan PPN ini akan berdampak negatif pada iklim usaha dan daya beli masyarakat. "Pajak naik otomatis akan ada pengurangan daya beli. Sebab ketika harga naik tapi tidak diikuti dengan pendapatan, otomatis masyarakat akan menahan belanja dan ini berimbas juga ke pendapatan pajak negara," ujar Roy kepada Danang, Senin (13/5/2024).

Ia juga menilai kebijakan ini kurang tepat, terutama di tengah lesunya ekonomi global yang berdampak pada inflasi di dalam negeri. Dengan nilai tukar rupiah yang melemah dan harga pangan yang tinggi, kenaikan pajak ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi makro ekonomi.

Menurut Roy, industri ritel selama ini berperan penting dalam menjaga kestabilan harga dan laju inflasi. Ia mencontohkan, ketika harga bahan pangan di pasar tradisional fluktuatif, ritel dapat menawarkan harga yang lebih stabil sesuai dengan arahan pemerintah.

"Contohnya gula yang akan naik di akhir bulan ini, harga acuan HET-nya sekitar Rp17.500 nah, kita (ritel) yang menjaga harga acuan ini kan," katanya.

BACA JUGA:DPR Dukung Usulan Prabowo Turunkan Pajak Pendidikan untuk Ringankan Biaya Anak Sekolah

Namun, Roy menyayangkan sikap pemerintah yang tampak abai terhadap kontribusi pelaku usaha ritel. Alih-alih memberikan keringanan pajak dan relaksasi kepada pengusaha dalam negeri, pemerintah justru terkesan menutup mata terhadap jasa titipan (jastip) dan barang bekas impor (thrifting) yang tidak dikenakan pajak impor secara semestinya dan mengganggu usaha lokal.

"Misalnya thrifting, baju branded lokal maupun luar yang harga normalnya Rp100-200 ribu di thrifting bisa dibanting harga lebih dari setengahnya," ujarnya.

Roy berpendapat, pelaku usaha thrifting dan jastip seharusnya dikenakan kebijakan yang sama, bukan malah membebani pengusaha nasional dengan pajak dan regulasi. "Ini merusak harga pasar dan merugikan merek pakaian dalam negeri," katanya, menambahkan bahwa pemerintah dianggap tebang pilih dan tidak tepat sasaran dalam membuat kebijakan.

Roy juga prihatin dengan sikap pemerintah yang tidak melibatkan pelaku usaha dalam proses penentuan kebijakan. "Ketika sudah ada korban, ketika banyak yang bangkrut, pemerintah seperti pemadam kebakaran, terlambat," sindirnya.

Sebagai regulator, pemerintah diharapkan dapat melihat secara objektif dan konsisten, serta mempertimbangkan berbagai pandangan dari kelompok yang berbeda sebelum membuat kebijakan. Kebijakan yang merugikan satu pihak dikhawatirkan akan membawa dampak buruk pada perekonomian nasional.

Sumber: