Mengingat Kembali Jasa Keturunan Rasulullah Saw di Nusantara

Mengingat Kembali Jasa Keturunan Rasulullah Saw di Nusantara

Ada yang mengungsi ke Kufah, ke Persia, Yaman, bahkan ke India. Dan zuriat Rasul yang memilih tetap di Madinah atau Mekkah harus sabar dengan berbagai kebijakan isolasi dari pemerintah.

Baca Juga: Menyoal Kerja dan Profesionalitas

Jika sejarah menulis orang-orang Yahudi, Negro dan Gypsi menjadi suku yang sering terintimidasi dan tertindas, para sejarawan mungkin lupa bahwa suku Alawiyyah atau zuriat Nabi juga memanggul kesengsaraan serupa.

Namun setelah berdiaspora dan bergaul dengan berbagai bangsa, keluarga Nabi Muhammad di berbagai negara kembali dihormati karena akhlak dan jasa-jasanya kepada masyarakat.

Di Maroko mereka mendirikan Dinasti Idrisiyah, di Mesir mereka mendirikan kekhalifahan Fatimiyah, di Hijaz mereka tegakkan Daulah Hashimiyah di Persia dan India mereka berjabat tangan dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas politik dan kesejahteraan masyarakat.

Pun di Nusantara, anak-anak Ali dan Fatimah yaitu para Walisongo serta para wali lainnya dari Hadramaut ikut berkontribusi mendirikan Kerajaan di Palembang, Pontianak, Pasai, Jawa hingga Islam menyebar ke bagian Timur negeri ini.

Kehormatan dan kemuliaan yang didapat oleh kaum Alawiyyah tidak semata-mata karena mereka adalah zuriat Nabi, tetapi karena jasa dan kontribusi nyata mereka pada masyarakat.

Baca Juga: Idealisasi Agama dan Nasionalisme: Worldview Manusia Indonesia

Kemuliaan dan keharuman sebuah nasab tersebut pada akhirnya membuat timbul rasa iri dan hasud, sehingga secara keji oknum-oknum tersebut tak malu menghina dan menyebar fitnah pada zuriat Rasulallah.

Kebencian pada trah Rasulullah ini tak cuma viral belakangan. Pada tahun 1993 para Sayyid dan Habaib dituduh pendusta dan jasa mereka terhadap negeri ini dipertanyakan.

Tak tanggung-tanggung, sebuah stetmen kontroversial keluar dari ketua lembaga yang dipandang mentereng: MUI.

KH Hasan Basri, Ketua MUI saat itu menyebut bahwa zuriat Nabi telah terputus dan Rasulullah dianggap tak memiliki keturunan hingga sekarang.

Ucapan ini menimbulkan kehebohan di publik. Para habaib dan Sayyid tak berdaya membalas stetmen MUI tersebut kecuali hanya mengklarifikasi via mimbar di majelis-majelis.

Kecaman terhadap zuriat Rasulallah itu berhasil ditangkis oleh KH. Abdurrahman Wahid. Ulama nyentrik yang akrab disapa Gus Dur menjelaskan kebenaran nasab para habaib dan betapa perlunya umat Islam bersyukur atas kehadiran mereka di Indonesia.

Baca Juga: Kecemasan dalam Pandangan Islam: Pengertian, Doa, dan Sebab

Sumber: