Menjejak Sejarah ‘Posse’ di Dunia Islam

Menjejak Sejarah ‘Posse’ di Dunia Islam

Sejarah Persia dan Nusantara--

SIASAT.CO.ID - Jam di layar gawai menunjukkan pukul 09.20 pagi, sekira empat jam lebih lambat dari zona waktu di tanah air tercinta. Bagi manusia yang terbiasa dengan iklim tropis, tentu cuaca Tehran pada temperature 1-2°C akan terlalu menusuk tulang, masih terlalu dingin jika kita menjejakkan kaki pada bulan Februari 2024 ini. Inilah ibukota dari sebuah negeri di Timur Tengah yang menamakan dirinya ‘Republik Islam’. Berbeda dengan bayangan tentang rona alam kawasan itu yang identik dengan hamparan gurun tandus nan berpasir, di sejumlah kawasan Tehran atau Iran secara umum, dapat dijumpai salju yang turun bak latar / setting film-film di Eropa. Meski ada sesuatu yang lebih menarik dan memicu rasa ingin tahu dibandingkan soal musim maupun cuaca di negara ini, yakni rasa penasaran yang telah terbawa dari negara asal tercinta, Indonesia.

Republik Islam Iran, atau dengan nama resminya yakni ‘Jomhuri-ye Eslami-ye Iran’ agaknya bukan sebuah nama yang asing, entah bagi masyarakat Indonesia yang gemar mengikuti berita perkembangan situasi geopolitik kawasan itu, maupun bagi mereka yang “hobi” berselancar di dunia maya guna memetik info-info bertema keagamaan. Meski faktanya tidak jarang “hasil panen” yang diperolehnya sering kali berupa kabar-kabar yang bertendensi pada soal kemadzhaban Sunni-Syiah atau serba ragam konten-konten yang jelasnya agak sulit dan mustahil dikonfirmasi kebenarannya. Tapi memang inilah jika nama “Iran” muncul ke ruang pembahasan publik.

Agak berbeda apabila nama “Persia” yang hadir untuk diperbincangkan. Entah mungkin karena salah satu ras kucing yang terkenal juga mengambil nama ini, atau pula salah satu hasil kerajinan tangan mewah yang kesohor dan mampu untuk memperindah interior ruangan  adalah “Karpet Persia”, orang-orang seolah menganggap Persia dan Iran adalah dua wilayah berbeda, dua masyarakat berbeda; atau mungkin dua “dunia” yang tidak identik sama sekali.

Apa mau dikata, tidak ada yang dapat memaksa orang-orang untuk mau belajar bahwa pada bulan Maret tahun 1935, Reza Pahlavi, Shah (Mahadiraja) Persia memutuskan untuk merubah nama negeri yang ia pimpin menjadi ‘Iran’ – atau Iranshahr / Tanah Bangsa Arya – untuk kembali ke akar sejarah ras penghuninya yakni Bangsa Arya. Reza Shah dikenal sebagai penyuka Fasisme dan mendukung Adolf Hitler; fase sejarah ini terjadi kurang lebih empat dekade sebelum pada akhirnya Dinasti Pahlavi yang didirikan Reza Shah tumbang akibat revolusi yang digerakkan tokoh kharismatik bagi sebagian besar rakyat Iran, seorang Ulama Islam bermadzhab Syiah yang dikenang dalam sejarah modern, Ayatollah Ruhollah Khomeini : Iran menjadi Republik Islam sejak tahun 1979.

BACA JUGA: Perjuangan Eksistensi Bahasa Sunda Banten

Sejatinya persoalan mengenai “Persia” – sekarang ‘Iran’ – bukanlah wacana baru maupun ‘aneh’ dalam dunia intelektual Indonesia, terlebih apabila ini dikaitkan dengan tema kajian keislaman. Tidakkah sudah sejak lama, yakni dalam buku-buku teks Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Sejarah bagi para siswa Indonesia, dikatakan bahwa terdapat tiga teori asal masuknya Islam (antara abad 13-15) yakni dari “Arab, Persia, dan Gujarat” ? Contohnya buku paket ‘Seri IPS Sejarah 1 SMP Kelas VII’ yang dicetak pada 2007 lalu. Disebutkan dalam buku itu bahwa kemungkinan Islam datang ke Indonesia dari Persia (Iran), dengan memperhatikan adanya pengaruh budaya berupa peringatan 10 Muharram atau ‘Asyura’. Untuk jenjang pendidikan berikutnya, dalam buku paket ‘Sejarah SMA/MA Kls XI-IPS’ kembali disebutkan mengenai teori ini yang didasarkan bukti berita dari Kekaisaran T’ang (Cina) yang menyebutkan adanya koloni pedagang Islam di Pantai Sumatera.

Akademisi UIN Raden Fatah Palembang, Kms. Badaruddin dan St. Zailia, dalam buku berjudul ‘Manajemen Pendidikan Pluralistik : Diskursus Sejarah Destruksi Arca Awalokiteswara Situs Gedingsuro Palembang’, meyakini catatan pelancong Cina di abad ke-7 M, I-Tsing, bahwa telah ada kapal orang-orang “Posse” bersama bangsa “Ta-Shih” di Sriwijaya. Sejarawan Indonesia, Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, dalam ‘Sejarah Nasional Indonesia III’ mengidentifikasi bahwa sebutan Ta-Shih yang dimaksud adalah Bangsa Arab dan Posse merupakan pelafalan Tiongkok bagi Bangsa Persia.

Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim Indonesia, dalam karya kenamaannya ‘Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII’ menuliskan bahwa catatan I-Tsing yang pada masa kontemporer diterjemahkan oleh J. Takasuku serta diterbitkan oleh Clarendon Press (1896) dengan judul ‘A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago’, terutama tentang kehadiran kapal orang Posse (Persia / Iran) – di samping orang Ta-Shih (Arab) – adalah catatan awal mengenai kehadiran Muslim Timur Tengah di Nusantara. I-Tsing ketika itu, pada 671 M menumpang kapal orang Ta-Shih dan Posse dari Kanton berlabuh di Muara Sungai ‘Bhoga’ atau ‘Sribhoga’ (atau ‘Sribuza’). Sebagaimana diketahui, Sribuza telah diidentifikasi oleh banyak sarjana modern sebagai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha.

Tema mengenai “Iran” yang bukan lagi “Barang Baru” atau bahkan “Barang Asing”, jika dapat diistilahkan sedemikian, turut mengena kepada aspek lain yaitu pengaruh bahasa. Hal tersebut menjadi kajian yang cukup menarik dan diangkat oleh Nurcholish Madjid, cendekiawan Muslim Indonesia lainnya. Madjid dalam bukunya ‘Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan’ memberi anotasi panjang atas pendapatnya bahwa Islam tiba ke Indonesia setelah melalui akulturasi dengan warisan budaya Persia atau melalui Iran (“Orang-orang Arya”). Contohnya adalah kosakata bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang dipinjam dari dan melalui Bahasa Persia/Iran (Farsi). Buktinya ialah kasus ta’ marbuthah (huruf “t” yang jika berhenti, berubah bacaannya seperti “h”, dan kalau disambung dengan huruf hidup tetap berbunyi “t” / ta’ maftuhah). Hampir semua kosakata Arab dalam bahasa kita dengan akhiran ta’ marbuthah dibaca (dalam waqaf) sebagai “t”, contoh : adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, tobat, warkat, dan zakat.

BACA JUGA: Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie: Guru yang Mempertemukan Kebhinekaan

Tetapi Madjid tidak secara gegabah menilai bahwa penyebaran Islam secara tunggal berasal dari Persia. Meskipun begitu ia menulis indikasi lain sebagai dukungan tambahan. Salah satunya adalah masuknya Islam ke Nusantara dari kawasan yang terpengaruh Persia, kemungkinan dari Gujarat, India. Pendapat yang cukup beralasan, mengingat bahwa Kesultanan Moghul di India, utamanya di bawah kekuasaan Akbar I, memutuskan untuk mengadopsi Farsi sebagai bahasa resmi serta bagi administrasi kekaisarannya.

Bukan itu saja. Sekalipun adakalanya terdapat pihak-pihak tertentu yang menggandrungi kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) untuk “bernostalgia” akan masa keemasan Islam; perlu diingat bahwa Iran cukup mempengaruhi dinasti Islam dari bangsa Turki tersebut. Tercatat bahwa sepanjang abad ke-15, Farsi menjadi bahasa prestisius dalam kebudayaan istana Turki Utsmani. Termasuk gelar jabatan yang khas dipakai oleh Ottoman yakni “Pasha”, yang artinya kurang lebih adalah “Tuan Bangsawan”, diserap dari kata dalam bahasa Persia yakni “Padishah”. Gelar ini merupakan yang tertinggi untuk diberikan pada seseorang sejak abad ke-14 yang memegang jabatan seperti para gubernur sampai menteri-menteri.

Kesan “asing” terhadap Iran, yang dahulu dikenal oleh berita Cina sebagai “Orang Posse” yang telah berabad-abad silam mengunjungi Nusantara itu, juga tidak dapat dilepaskan dari pergolakan perpolitikan di tanah Persia. Walaupun selama berabad-abad Iran dikenal sebagai wilayah dengan basis Sunni, terbukti dengan banyaknya ulama maupun cendekiawan madzhab ini yang lahir di sana seperti Imam Al-Ghazali, Al-Taftazani, Imam Al-Baihaqi, dll. Akhirnya pada permulaan era 1500-an terjadi pergolakan politik yang mana Dinasti Safawi di bawah Shah Ismail I mendeklarasikan Syiah Imamiah sebagai madzhab resmi negara. Akademisi ahli sejarah pemikiran Islam asal Inggris, Prof. Antony Black, menuliskan bahwa kebijakan Ismail I dilakukan dengan kekerasan, namun dengan tujuan praktis-politis untuk mendirikan negara missioner melawan dominasi Utsmani di barat dan orang Uzbek di timur yang menganut Sunni. Hal inilah yang menjadi sebuah titik beban sejarah, yang mana sensitifitas terhadap “Iran” kerap bergolak secara laten di tengah Umat Islam.

BACA JUGA: Arti Sejarah dan Filosofi Pohon Sawo dalam Perjuangan Menentang Penjajah

Menjejak sejarah orang-orang ‘Posse’ atau Persia, yang kini dikenal dengan nama Iran, ternyata cukup banya membuahkan kebijaksanaan untuk dipetik. Bahwa identitas religi suatu bangsa adakalanya dapat berubah dalam lintasan sejarah yang merentang. Apapun yang terjadi pada Persia di abad ke-16 oleh Dinasti Safawi, bagaimana pun sekarang pada faktanya memang penduduk Iran ialah penganut Syiah. Begitupun dahulu ketika Muslim ‘Posse’ tiba di Nusantara pada abad ke-7 M, kebanyakan masyarakat Indonesia masih memeluk Buddhisme. Islam lalu menyebar dan berhasil memperoleh pemeluk yang banyak di Nusantara antara abad ke-13 sampai ke-15; bahkan dalam fase itu orang ‘Posse’ (Persia/Iran) diyakini sebagai bangsa penyebarnya.

Sebagai penutup, kita dapat belajar bahwa eksistensi pun kerap menghasilkan pengaruh dan ber-koeksistensi. Sebagaimana Farsi (Bahasa Persia) yang dipakai oleh Orang ‘Posse’ itu pernah memengaruhi dunia administratif Dinasti Moghul di India, bahkan pada Dinasti Utsmani – simbol kejayaan silam yang kerap dipuja oleh para “Perindu Khilafah”. Maka kini menjadi sebuah keharusan, tatkala sekat-sekat geografis maupun demografis kian menipis oleh cepatnya akses pada informasi, manusia yang juga menjadi pemerannya perlu memahami sesamanya dengan meretas segala stereotip. Bukan mustahil dalam pada itu akan tersibak sejumlah potensi-potensi baru dalam membangun kerjasama. Hingga pada akhirnya kita memahami bahwa segala dinamika peradaban ini, juga akan menjadi sejarah bermakna di masa mendatang.

Penulis:  

Mursyid Al Haq, SH (Wakil Ketua Ikatan Pelajar Indonesia Iran / IPI IRAN) Arafah Pramasto, S.Pd.(Anggota PCI Muhammadiyah Iran)

Referensi

  Alexander, David Geoffrey, Islamic Arms and Armor in the Metropolitan Museum, New York : The Metropolitan Museum of Art, 2015.

  Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta : Kencana, 2013.

  Badaruddin, Kms., St. Zailia, Manajemen Pendidikan Pluralistik : Diskursus Sejarah Destruksi Arca Awalokiteswara Situs Gedingsuro Palembang , Bandung : Jejak Publisher, 2023.

  Black, Antony, Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati (Penj.), Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini , Jakarta : Serambi, 2006.

  Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan , Bandung : Mizan, Edisi Baru, 2008.

  Murdiono, Pengantar Sejarah Peradaban Islam : Periode Awal-Pertengahan, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2023.

  Nair, Shankar, Translating Wisdom : Hindu-Muslim Intellectual Interactions in Early Modern South Asia, California : University of California Press, 2020.

  Notosusanto, Nugroho, Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam , Jakarta : Balai Pustaka, 1993.

  Prawoto, Seri IPS Sejarah SMP Kelas VII , Jakarta : Yudhistira, 2007.

  Sowerby, Tracey A., Christopher Markiewicz (Ed.), Diplomatic Cultures at the Ottoman Court, c. 1500-1630, New York : Routledge, 2021.

  Srivanto, Fernando R., Kolaborator NAZI : Sepak Terjang Para Simpatisan Nazi Selama Perang Dunia II, Yogyakarta : Penerbit Narasi, 2008.

  Teja, Ignas Kingkin, dkk., Sejarah SMA/MA Kls XI-IPS , Jakarta : Grasindo, 2007.

 

Sumber: