Persia-Nusantara dalam Lintas Sejarah Komoditas

Persia-Nusantara dalam Lintas Sejarah Komoditas

Sejarah Nusantara dan Persia--

Menyaksikan perkembangan terkini dari Timur Tengah, utamanya pasca Iran melancarkan serangan misil balistik dan drone sebagai balasan pengeboman konsulatnya di Damaskus (Suriah) oleh Israel pada 1 April 2024 lalu, memang cukup menarik. Selain aksi pada tanggal 13-14 April itu menandakan serangan langsung pertama pihak Tehran pada rezim Zionis, respon terhadapnya tidak kalah mengasyikkan untuk disimak. Tidak perlu kiranya menyoal sikap dunia Barat yang hampir paripurna menyokong eksistensi kubu Tel Aviv. Tanggapan pihak-pihak tertentu, termasuk para warganet tanah air Indonesia ternyata cukup beragam. Ada yang mendukung penuh, yang lainnya menilai Iran hanya melakukan ‘gimmick’ di panggung internasional, bahkan terdapat pula yang berseloroh : “Serangan Iran bukan untuk membantu rakyat Gaza (Palestina), tapi hanya membalas pengeboman Israel ke konsulatnya !.”

Mungkin tidak sedikit pula yang berikhtiar untuk memberikan sanggahan pada pernyataan terakhir dengan balasan pertanyaan, “Lalu kenapa konsulat Iran harus dibom Israel ?”, sambil kemudian mencantumkan berita-berita internasional mengenai dukungan Iran pada Hamas, kelompok perlawanan bersenjata yang kini tengah berkonflik dengan Israel di Gaza. Di luar semua hiruk-pikuk tersebut, sebenarnya eksistensi bangsa Iran – dahulu dikenal dengan sebutan ‘Persia’ – dalam ranah kognisi masyarakat kita, telah lama hadir dalam khazanah historis negara kepulauan ini.

Orang Iran merupakan salah satu dari keturunan ras Arya yang berasal dari padang rumput luas di timur dan utara Laut Kaspia. Ras tersebut mengalami persebaran luas yang tidak terbatas di Timur Tengah, melainkan pula ke Eropa dan India. Bangsa Arya-Medes berhasil menguasai kawasan yang menjadi wilayah barat Iran modern pada abad ke-8 SM. Sedangkan pada 559 SM, kelompok ras Arya lainnya mulai menyebarkan dominasinya dan dikenal sebagai orang ‘Persia’, nama yang merujuk pada wilayah ‘Fars’ di kawasan barat daya. Kelompok lain bangsa Arya telah lebih dahulu memasuki kawasan India pada 1500 SM dengan membawa teks-teks sucinya yang disebut ‘Veda.’ Akulturasi dan asimilasi bangsa Arya dengan peradaban asli lembah Sungai Indus, menjadi peletak dasar perkembangan agama Hindu dan Buddha.

Kedua agama dari India itu turut menyebar di “Nusantara”, sebagaimana dahulu kepulauan Indonesia dikenal. Lalu, tersebutlah sebuah kerajaan bercorak Buddha nan masyhur. Otoritas politik itu merupakan ‘prototipe’ negara kesatuan dengan corak kemaritimannya. Ialah ‘Sriwijaya’ sebagai negeri yang kuat dan terbesar di kawasan, berada di tepian Sungai Musi yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang, ibukota Provinsi Sumatera Selatan di masa modern. Secara kewilayahan, Sriwijaya terkenal karena menguasai kedua tepian selat Malaka. Sedangkan dalam perniagaan, kerajaan ini terkenal karena mampu menjalin hubungan dagang yang aktif ke Persia, Cina, dan juga Pulau Jawa. Melalui penguasaan atas Malaka, Sriwijaya memegang kendali pelayaran komersil yang melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudera Indonesia dan Teluk Persia.

BACA JUGA: Hook Iran Untuk Israel

Hubungan antara kawasan Nusantara dan Persia yang telah terekam oleh berita Cina sejak awal perkembangan Sriwijaya di abad ke-7, nyatanya masih terus berlanjut. Memasuki abad ke-8 Masehi, Sriwijaya sudah menjadi negara-kota yang kosmopolit, di mana kapal-kapal dagang dari teluk Persia semakin banyak berdatangan. Konsistensi dalam membina kemaritiman mengakibatkan kerajaan ini menyaksikan peningkatan volume perdagangan di abad ke-10. Saat itu di ibukota Sriwijaya banyak ditemukan para pedagang internasional, antara lain dari dunia Arab, Persia, dan Yunani, selain dari wilayah lain di Nusantara dan Asia Tenggara. “Zabaj” atau “Zabag” merupakan istilah untuk Sriwijaya dan ibukotanya yakni Palembang, terintegrasi pada peta perdagangan dari India Selatan dengan Cina menuju ke dunia Arab dan Persia.

Bernard H.M. Vlekke dalam buku ‘Nusantara : Sejarah Indonesia menuliskan sejumlah komoditas perdagangan internasional abad ke-10 yang diproduksi oleh Sriwijaya seperti timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga dan kamper. Bahkan uniknya burung beo dari Sumatera punya reputasi sebagai burung yang cerdas, lanjut Vlekke dengan mengutip sumber Arab abad ke-10, yang mana burung-burung itu sanggup bicara bahasa Arab, Yunani, Hindi, dan Persia. Lebih dari sekedar dari soal burung beo yang mampu berbahasa asing, terdapat catatan mengenai pengaruh Persia dalam kosakata bahasa Jawa maupun Melayu seperti : Kanduri (Kenduri), Nakhoda, Bandar, Astana (Istana), Bedebah, Biadab, Bius, Diwan (dewan), Gandum, Jadah (anak haram), Lasykar, Tamasya, Saudagar, Pasar, Syahbandar, Pahlawan, Kismis, Anggur, Takhta, Medan, Firman, dan lainnya; demikian tulis Agus Sunyoto dalam  Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.’

Saat perlembagaan Islam mulai tumbuh di Nusantara pada abad ke-13-15 M, khususnya dalam bentuk institusi kependidikan sebagaimana terjadi di Samudra Pasai dan Malaka, sastra Persia sedang mencapai kemuncak perkembangannya. Fase itu ditandai dengan munculnya karya-karya saduran Timur Tengah, utamanya Persia ke dalam Bahasa Melayu. Sebut saja di sini ‘Hikayat Bayan Budiman’, ‘Hikayat Amir Hamzah’, ‘Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah’; perlu ditambahkan pula di sini karya lain yang pernah ditulis di Aceh abad ke-16 yang bersumber dari naskah Farsi (berbahasa Persia) seperti ‘Hikayat Yusuf’, ‘Kitab Nasih Al-Mulk’, serta terjemahan puisi-puisi Umar Khayyam, Fariduddin ‘Attar, Sa’di Al-Shirazi, Jalaluddin Rumi, dll. Terkhusus karya ‘Attar berjudul ‘Mantiq At-Thayr’ (‘Musyawarah Burung’) menghasilkan sejumlah saduran seperti ‘Andai-andai si Burung Pingai’, ‘Hikayat Burung Berau-berau’, dan tentunya mengilhami syair Tasawwuf Hamzah Fansuri, ‘Syair Burung Pingai’.

Tidak berhenti dalam bidang sastra dan literatur semata. M.C. Ricklefs dalam karya kenamaannya ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2008’, ikut menyajikan temuan menarik dalam bidang kemiliteran. Disebutkan bahwa pada awal abad ke-17 M Sultan Iskandar Muda berhasil membawa Aceh menjadi negara paling kuat di Nusantara bagian barat. Bukan hanya kapal-kapal besar yang mampu mengangkut hingga 800 prajurit, melainkan pula pasukan kavaleri yang diantaranya menunggangi kuda-kuda Persia. Jenis kuda Persia yang berasal dari Iran itu nampaknya tidak sebatas tangguh di tengah pertempuran, tetapi juga menjadi salah satu simbol kemegahan dan keagungan istana bagi Amangkurat I, penguasa Kesultanan Mataram di Pulau Jawa.

BACA JUGA:Menjejak Sejarah ‘Posse’ di Dunia Islam

Penggunaan kuda-kuda Persia untuk kendaraan tempur ataupun barang mewah, tak dapat dilepaskan dari peredarannya sebagai komoditas dagang. Besar kemungkinan Aceh mendatangkan kuda-kuda itu dari Ayutthaya (Thailand), di mana pada abad ke-15 M orang-orang Iran telah familiar dengan kota pelabuhan ini dan menyebutnya sebagai ‘Shahr-e Nav’ atau “Kota Perahu dan Kanal.” Thailand hingga abad ke-17 saling bertukar duta besar dengan Iran di bawah Dinasti Safawi. Selain dari pada itu, orang Persia memanfaatkan kebijakan Thailand dalam mempromosikan pada pedagang asing untuk mengembangkan perdagangan lintas laut. Aceh di Pulau Sumatera, Ayutthaya, Thang-long di Vietnam, Banten dan Mataram di Jawa, maupun Makassar di Sulawesi merupakan kota-kota perdagangan yang berkembang begitu ramai pada rentang masa itu.

Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa kurun waktu satu milenium (abad 7-17 M) hubungan keduanya masih terus terjalin. Relasi itu tergambar dari transfer pengaruh, seperti ketika religi dari tanah Hindustan (India) yang terpengaruh ras Arya dianut juga oleh masyarakat Nusantara; cabang lain dari ras ini turut berperan dalam pembentukan identitas Bangsa Persia (Iran). Ketika orang-orang Persia yang sudah menjadi Muslim, sejumlah karya saduran dari para cendekiawan Iran diyakini turut dipakai dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia. Belum lagi adanya tinggalan linguistik dalam kosakata Nusantara yang berasal dari Iran.

Di luar permasalahan keagamaan, manusia akan tetap saling membangun relasi sesamanya melalui kesamaan kepentingan yang logis. Oleh sebab itu hubungan kedua wilayah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan komoditas-komoditas berharga. Sebut saja hasil tambang, rempah, dan hasil hutan. Bahkan lebih jauh lagi, tidak mengherankan apabila kisah mengenai burung beo dari Sumatera yang “polyglot” (menguasai banyak bahasa internasional), maupun keberadaan kuda-kuda Persia yang memperkuat kemiliteran serta menjadi barang mewah kebanggaan penguasa, sempat terekam dalam hubungan historis antara kedua wilayah itu. Persia dan Nusantara, atau dalam sebutan era masa kini ialah Iran dan Indonesia, nampak selalu terhubung dalam lintas pertukaran bermacam komoditas.

Begitupun pada masa sekarang saat kedua bangsa eksis di era modern. Sayangnya pemberitaan kian deras memungkinkan terjadinya “komodifikasi”, di mana informasi yang sebenarnya merupakan asupan bermanfaat bagi pengetahuan, kerap dijadikan “barang jualan”. Permasalahannya terletak dari “cara produksi” dengan beragam kooptasi, sehingga hasilnya adalah “komoditas” penuh rasa curiga, ditaburi tendensi dan sensitifitas. Padahal dahulu nenek moyang kita mampu mengambil andil dalam pergaulan mancanegara dengan sikap keterbukaannya. Peluang sinergi selalu terbuka dengan menyadari kesamaan isu yang tengah dihadapi; entah itu dalam kepedulian terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, atau pemutakhiran teknologi militer pada era perang modern yang bertumpu pada senjata berkendali jarak jauh.

Penulis: 

Mursyid Al Haq, SH

(Wakil Ketua Ikatan Pelajar Indonesia Iran / IPI IRAN)

&  Arafah Pramasto, S.Pd.

(Anggota PCI Muhammadiyah Iran)

 

Referensi

Abdullah, Taufik, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2 Kerajaan Hindu-Buddha, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve & Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012.

Awani, Ghulam Reza, dkk., Islam, Iran, dan Peradaban : Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam, Yogyakarta : RausyanFikr Institute, 2012.

Barber, B. Bryan, Japan’s Relations with Muslim Asia, Cham : Palgrave Macmillan, 2019.  

Burhanuddin, Jajat, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia : Dari Negeri di Bawah Angin ke Negara Kolonial, Jakarta : Kencana, 2020.

Gray, Leon, Iran : Countries of the World, Washington D.C. : National Geographic, 2008.  

Hakim, Manshur Abdul, Masturi Irham & Mujiburrahman (Penj.), Bangsa Romawi dan Perang Akhir Zaman, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2017.

Miftakhuddin, Sejarah Dunia Terlengkap : Dari Manusia Pertama hingga Perang Dunia Kedua, Yogyakarta : Sociality, 2017.

Pettigrew, William A., Global Trade and the Shaping of English Freedom, Oxford : Oxford University Press, 2024.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : Serambi, 2008.

Sunyoto, Agus, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Yogyakarta : LKiS, 2012.   Suyono, Capt. R.P., Peperangan Kerajaan di Nusantara , Jakarta : Grasindo, 2004.

Vlekke, Bernard H.M., Samsudin Berlian (Penj.), Nusantara : Sejarah Indonesia, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008.

Wahyudi, W. Eka, 30 Hari Mengaji Islam dan Indonesia, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2020.

Sumber: