Mendesak Pemerintah Segera Sahkan Aturan Pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Selasa 28-11-2023,20:49 WIB
Reporter : Khalid Syaifullah
Editor : Reza Al-Habsyi

Dalam upaya mengatasi hal ini, sosialisasi kepada media dilakukan untuk menyebarkan informasi seputar UU TPKS. Hal ini disoroti karena banyak korban yang belum memiliki akses informasi dan keadilan.

Beberapa daerah, seperti Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, mengalami kendala dalam implementasi UU TPKS. Terutama, di kepolisian di beberapa wilayah yang belum memahami substansi UU TPKS. Di Sulawesi Utara dan NTT, misalnya, aparat penegak hukum masih kurang memahami substansi UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Fokus mereka lebih pada memberikan sanksi kepada pelaku, seperti dalam kasus anak yang menggunakan UU Perlindungan Anak karena sanksinya lebih tinggi daripada UU TPKS.

BACA JUGA:Jurnalis Ini Mendapat Pelecehan Seksual Saat Liput Konferensi Pers Anies Baswedan Bakal Capres Partai Ummat

Aparat penegak hukum juga belum menerapkan aturan turunan UU TPKS karena khawatir akan penolakan dari kejaksaan, disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang seragam.

Masalah ini diperparah oleh budaya patriarki dan stigma masyarakat terkait kekerasan seksual, yang menyebabkan rendahnya pengetahuan aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat dalam melindungi dan memulihkan korban.

“Hampir dua tahun UU TPKS disahkan, tetapi di Papua belum diimplementasikan. APH ragu menggunakan UU TPKS. Kita juga menyayangkan perspektif APH masih bias jender dan tidak sensitif dengan korban,” keluh Novita Opki dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura.

Tantangan Keadilan Bagi Korban di Daerah Terpencil

Sampai saat ini, kondisi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, khususnya di daerah terpencil, tetap menghadapi kesulitan dalam mengakses keadilan karena sebagian besar aparat penegak hukum belum memahami sepenuhnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Situasi ini menimbulkan ketidakamanan bagi perempuan di daerah terpencil, terutama di wilayah konflik. 

“Situasi di Papua darurat kekerasan seksual,” kata Novita.

Anggota Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan, Maria Un, menyoroti bahwa hampir semua perempuan dan anak perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan seksual, terutama mereka yang memiliki disabilitas intelektual dan mental. Menurutnya, sebagian besar pelaku berasal dari lingkungan dekat dan dikenal oleh korban.

Para perempuan yang ikut bersuara, termasuk Katrin Wokanubun (Suara Milinial Maluku), Rosmiyati Sain (LBH APIK Sulsel), Luh Putu Anggraeni (LBH APIK Bali), Irene Natalia (Jaringan Perempuan Borneo), Riswati dan Fatimah (Flower Aceh), serta Nurul Kurniati (Jaringan Perempuan Yogyakarta), menekankan tantangan terkait keadilan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di daerah terpencil.

Kategori :

Terpopuler