Budaya yang Tercemar

Budaya yang Tercemar

Dalam pidato kenegaraan 2023, Jokowi menyinggung soal budaya yang tercemar.--Foto: Disway

DUA bentuk pencemaran sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Pertama, pencemaran udara di Jakarta yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Beberapa mengaitkannya dengan emisi kendaraan dan menyarankan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sementara yang lain menganggapnya disebabkan oleh musim kemarau dan mengusulkan hujan buatan. Namun, ada juga yang menyalahkan peningkatan pembangkit listrik tenaga uap dengan menggunakan batu bara di sekitar Jakarta.

Kedua, pencemaran budaya, meskipun tidak berdampak pada kesehatan, namun memiliki potensi bahaya bagi peradaban bangsa. Presiden Joko Widodo mengungkapkan isu polusi budaya ini dalam pidato kenegaraan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI.

Presiden Jokowi menyatakan, "Saya sadar ada yang mengkritik saya dengan kata-kata seperti bodoh, plonga-plongo, tidak berpengetahuan, Firaun, tolol. Ya, tidak masalah. Sebagai individu, saya menerimanya." Ia kemudian menambahkan, "Namun, yang membuat saya prihatin, adab sopan santun dan budi pekerti mulai terkikis. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk menyebarkan kebencian dan fitnah. Polusi budaya ini merusak nilai-nilai luhur budi pekerti bangsa Indonesia."

BACA JUGA:Jokowi Sindir Politisi yang Suka Sebut Lurah Istana untuk Kepentingan Pemilu 2024

Meskipun awalnya merasa remeh, Jokowi menanggapinya dengan serius dalam pidato kenegaraannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa pidato kenegaraan digunakan sebagai forum curhat pribadi. Beberapa berpendapat bahwa ini menunjukkan kurangnya konsistensi, karena masalah yang awalnya dianggap remeh tiba-tiba diangkat dalam pidato kenegaraan. Namun, seharusnya kita fokus pada pemimpin masa depan yang konsisten untuk kemajuan bangsa, bukannya terjebak dalam perdebatan seputar hal-hal yang tidak relevan.

Penting untuk membedakan antara Jokowi sebagai individu dan sebagai presiden. Sebagai presiden, Jokowi harus menerima kritik dengan lapang dada, seberat apa pun itu. Namun, ada pandangan bahwa kedua peran ini sulit dipisahkan karena presiden adalah pemimpin bangsa. Meskipun tidak diakui secara konstitusional sebagai simbol bangsa, presiden memiliki peran penting dalam menjaga kehormatan dan martabat bangsa. 

Menghina presiden sama dengan menghina simbol-simbol nasional. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali kepada budaya santun yang telah diajarkan pada masa lalu, di mana kita memberikan penghormatan dan ucapan yang sopan kepada sesama, termasuk para pemimpin. Menghina dengan kata-kata kasar hanya akan merugikan diri kita sendiri dan merusak peradaban kita.

Sumber: