Tantangan dan Tanggung Jawab Profesi Hakim dalam Perspektif Islam

Tantangan dan Tanggung Jawab Profesi Hakim dalam Perspektif Islam

Ilustrasi hakim.--Foto: istimewa

SIASAT.CO.ID - Menjadi seorang hakim bukanlah tugas yang enteng, sebab setiap putusan yang diambil membawa beban tanggung jawab yang besar. Dilansir dari islam.nu.or.id/syariah/kriteria-hakim-ideal-menurut-rasulullah-wmvDy">NU Online, Rasulullah saw menggambarkan hakim dalam tiga kategori, seraya menegaskan bahwa keadilan dan ketelitian mutlak diperlukan.

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ

Artinya: “Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga”. (HR. At-Tirmidzi).

Dalam hadits ini, Rasulullah saw memperingatkan bahwa hakim yang memutuskan tanpa kebenaran berada dalam ancaman neraka. Bahkan, keputusan tanpa pemahaman yang cukup tentang suatu perkara juga dianggap sebagai ancaman serius. An-Nawawi mengungkapkan bahwa hakim seolah-olah "dibunuh tanpa menggunakan pisau" dan menekankan pentingnya keadilan dalam menjalankan tugas tersebut.

Ancaman terhadap hakim yang tidak berlaku adil menjadi poin krusial dalam ajaran Islam. Adz-Dzahabi menegaskan bahwa memutuskan tanpa ilmu atau tanpa bukti dari Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang mendapatkan ancaman serius.

فكل من قضى بغير علم ولا بينة من الله ورسوله على ما يقضي به فهو داخل في هذا الوعيد   

Artinya: “Setiap orang yang memutuskan perkara tanpa ilmu, atau bukti yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka dia termasuk kepada golongan yang diancam.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid XIII, hal. 15).   

BACA JUGA:Rais Aam PBNU: Manusia Makhluk Proyeksi Akhirat

Namun, ada juga hadits  yang memberikan penghargaan bagi hakim yang adil. Meskipun menekankan risiko besar dalam profesi ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa hakim yang berusaha untuk adil akan mendapat pahala, bahkan jika keputusannya tidak selalu benar.

Ini mencerminkan prinsip bahwa upaya untuk mencapai keadilan dihargai bahkan jika hasilnya tidak selalu sempurna.

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ   

Artinya: “Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad kemudian ia salah, maka baginya satu pahala.” (HR Al-Bukhari).

إنما يؤجر المخطئ على اجتهاده في طلب الحق؛ لأن الاجتهاد عبادة، ولا يؤجر على الخطأ، بل يوضع عنه الإثم فقط، وهذا فيمن كان من المجتهدين جامعًا لآلة الاجتهاد، عارفًا بالأصول، عالمًا بوجوه القياس.   

Artinya: “Hanya saja hakim yang salah diberi ganjaran atas ijtihadnya dalam menuntut kebenaran, karena ijtihad adalah ibadah, sedangkan kesalahan yang dibuatnya tidak diberi pahala, namun dosa sebab putusan salah tersebut dihapuskan. Ini berlaku untuk mujtahid yang telah menggunakan seluruh piranti keilmuan dalan berijtihad, mengetahui ushul dan juga sudut pandang analogis.” (Khalil Ahmad, Badzlul Majhud fi Halli Sunan Abi Dawud, [India: Markaz lil Buhuts, 2006], jilid XI, hal. 302).   

Sumber: