Islam di Cina, Soal ‘Hui’ hingga Uyghur

Islam di Cina, Soal ‘Hui’ hingga Uyghur

Xining-city-Muslims-Eid-Ul-Fitri-Prayer-2016.jpg--

SIASAT.CO.ID - Xinjiang-Uyghur merupakan wilayah administratif setingkat provinsi yang letaknya terjauh dari ibukota Beijing, serta merupakan yang terluas yaitu sekitar 16 juta km2, sekira 16% dari luas RRC (Republik Rakyat Cina / Republik Rakyat Tiongkok) seluruhnya. Secara geografis, Xinjiang masuk atau “lebih dekat” ke Asia Tengah. Keunikan dari wilayah ini ialah penduduknya yang mayoritas memeluk Islam/Muslim.

Secara umum, pemeluk Islam di negeri itu tersebar di seluruh penjuru Tiongkok. Selain Xinjiang, konsentrasi Muslim juga terdapat di Gansu, Ningxia, dengan jumlah yang signifikan terdapat pula di Provinsi Yunnan (barat daya Cina) maupun di Henan, Cina bagian tengah. RRC mengakui adanya 55 kelompok etnis minoritas, 10 di antaranya yang berpopulasi dominan Muslim apabila diurutkan secara menurun beserta persentase internal pemeluk Muslim di sana adalah : Hui (9,8 juta pada sensus tahun 2000, atau 48% dari jumlah resmi tabulasi Muslim), Uyghur (8,4 juta, 41%), Kazakh (1,25 juta, 6,1%), Dongxiang (514.000, 2,5%), Kyrgyz (161.000), Salar (105.000), Tajik (41.000), Uzbek-Bonan (17.000), dan Tatar (5000). Selain itu terdapat kelompok Muslim Tibet yang secara resmi dikelompokkan sebagai Orang Tibet (tanpa melihat agamanya-Pen).

Sensus yang lebih dari dua dekade (20 tahun) di atas tentu mengalami perubahan angka-angka, namun tetap saja Muslim tergolong minoritas di Cina, sebuah negara dengan populasi yang besar di muka bumi. Sejak awal pendirian RRC tahun 1949, berkat argumen sarjana Hui berhaluan Marxis seperti Bai Shouyi, istilah standar untuk “Islam” memiliki transliterasi “pinyin”-nya yakni “Yisilan Jiao”, yang secara harfiah berarti “Agama Islam”.

Namun memang terdapat penerapan “tambal-sulam”, berubah-ubah, serta tumpang tindih dalam sejarah Cina untuk menyebut Islam serta pemeluknya. Sebelum era RRC, secara tradisional orang Cina menyebut Islam sebagai “Huijiao” (Agama “Hui”), yang menempatkannya menjadi berdampingan dengan sebutan identifikasi “Huizu” yang berarti “Kelompok Etnis Hui” dan “Huimin” atau “Orang Hui”. Kelompok etnis Hui bisa dikatakan agak khas kependudukannya, karena mereka termasuk kelompok  etnik yang bertutur “Sinitik” atau Han, mereka secara resmi dianggap termasuk orang-orang yang “Non-Sinitik”, alasannya karena sudut pandang kebudayaannya bukan dianggap pendukung “Kebudayaan Agung Han”.

BACA JUGA: Menjejak Sejarah ‘Posse’ di Dunia Islam

Istilah “Hui” semakin rancu dengan adanya sebutan “Huihui”, sebuah kata yang ditujukan bagi orang Cina Muslim selama dinasti Ming dan Qing, diperkirakan berasal dari orang “Huihe”/”Huihu”, yang sebenarnya merupakan nama untuk kesatuan politik etnis Uyghur pada abad ke-8 dan ke-9, meski di zaman tersebut orang Uyghur Kuno ada yang Muslim maupun tidak memeluk Islam. Pemakaian Huihui diluaskan penerapannya, seperti dalam catatan pelancong asing yang juga misionaris Jesuit bernama Matteo Ricci (1598), ia menulis bahwa istilah Hui atau Huihui diterapkan oleh Cina tidak hanya untuk “Saracen” (Muslim) tetapi juga bagi orang Yahudi dan bahkan bagi orang Kristiani.

Sementara itu julukan Hui tetap merupakan nama umum untuk semua Muslim di kekaisaran Cina, istilah tertentu kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada kelompok tertentu – misal “Chantou Hui” (Hui Bersorban) bagi kaum Uyghur, “Dongxiang Hui” bagi orang Dongxiang, “Sala Hui” kepada Suku Salar, kadang-kadang ada juga “Han Hui” (Cina Hui) untuk pemeluk Islam yang mungkin berbahasa Han namun lebih membaur dengan masyarakat utama Cina.

Istilah “Huihui” pertama kali dipakai memang pada Dinasti Yuan untuk menggambarkan Asia Tengah, Persia, dan penduduk Arab di Cina. Guna mengurai benang kusut dalam “kubangan” peristilahan di atas, jelasnya Graham E. Fuller dalam buku yang diterjemahkan menjadi “Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam ?” meyakini fragmen sejarah yang mempengaruhi terbentuknya berbagai macam garis keturunan Orang Hui adalah di masa Dinasti Yuan (Mongol) (1271-1368 M), ketika bangsa Mongol menangkapi ratusan ribu orang Arab, Persia, dan Turki dari Asia Tengah dan mengirim mereka ke Cina guna membantu mereka mengatur kekaisaran itu, seperti dalam bidang keuangan, perpajakan, membuat kalender, meneliti astronomi dan membangun ibukota baru yang kini disebut Beijing. Bukan berarti eksistensi komunitas Islam di Cina baru terbentuk di masa itu, melainkan kebijakan Mongol hanyalah proses “susulan” yang mempengaruhi dinamika Muslim Cina.

Era Dinasti Song yang berkuasa sebelum Yuan, di bawah pemerintahan kaisar Shenzong, pernah mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara di bawah pimpinan Pangeran Amir Sayyid yang dikenal dengan nama Cina-nya sebagai “So-Fei-Er”, untuk menetap di Kaifeng dan Yenching guna menciptakan zona penyangga antara Cina dan Kerajaan Liao pada tahun 1070 M. Bahkan beberapa abad sebelumnya, pada masa Dinasti Tang (618-907 M) telah ada masyarakat Muslim pedagang di kota-kota pelabuhan seperti Guangzhou, Quanzhou, dan Hangzhou, saat itu mereka disebut “Dashi Fa” (Pengikut ‘Hukum’ (Agama) Arab). Bisa dibilang, komunitas Muslim Hui Cina telah terbentuk dari sebuah proses sejarah panjang dan tidak sederhana. Walau demikian, berbicara pemeluk Islam di Cina nampaknya kurang lengkap apabila tidak membahas mengenai Uyghur.

BACA JUGA: Dinamika Islam dan Rasionalisme: Menuju Masyarakat Ideal

Majalah Moeslim Choice Edisi 07/Juni 2018 dalam rubrik “Dunia Islam” memuat tajuk “Melihat Ramadhan di Berbagai Negara”. Narasi berita dari Cina secara garis besar berisi keluhan tentang “disulapnya” kebun bunga dan plaza di depan tempat ibadah yang berdiri sejak 1442 M bernama Masjid Id Kah, tiada stasiun televisi yang memutar serial spesial Ramadhan, belum lagi suara adzan tak boleh berkumandang. Kondisi itu dikabarkan terjadi di wilayah Kashgar yang katanya berada dekat dengan perbatasan “Turki”. Ini merupakan kejanggalan mengingat bahwa Kashgar menjadi bagian dari wilayah Cina Barat, tepatnya Xinjiang-Uyghur yang kita bahas di awal. Pernyataan bahwa daerah dekat dengan “Turki” itu cukup rancu, karena Xinjiang-Uyghur yang beribukota di Urumci/Urumqi itu berbatasan dengan sejumlah negara-negara mayoritas Muslim seperti Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Kirgiztan, dan Kazakhstan.

Kelihatannya berita yang dimuat di atas amat terpengaruh oleh perkembangan konflik antara Otoritas Partai Komunis Cina (PKC) yang beberapa tahun lalu dicurigai melakukan penindasan terhadap gerakan separatis di bawah kelompok ETIM (East Turkestan Islamic Movement) yang ingin memisahkan Xinjiang dari RRC. Kita tidak akan membahas mengenai polemik konflik yang akan relatif bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan (SARA) tersebut, meski sejatinya kekerasan yang terjadi tak akan lepas dari soal politik-ekonomi. Kita harus melihat mengapa sampai beredar sebuah berita yang dimuat dalam media massa, dengan kurang hati-hati memilih kata “Turki”, apakah maksudnya “Republik Turki” sebuah negara sekuler di Asia Barat Daya namun lokasinya sangat jauh dari Cina ?. Atau “Turki” yang mana yang dimaksud ?.

Hal yang harus diluruskan di sini ialah memang benar secara etnolinguistik banyak pakar mengakui bahwa Uyghur termasuk kelompok orang etnis “Turkik” (bercorak Turki secara bahasa). Uyghur bersama etnis-etnis yang berbahasa Turkik lainnya di Xinjiang, dibedakan dengan dengan kelompok etnis Hui, meskipun memiliki kesamaan agama, sehingga sebutan “Turkistan” yang bahkan dipakai oleh kelompok separatis itu bertujuan untuk memperoleh simpati dari sejumlah negara yang berbatasan langsung dengan Xinjiang seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kirgiztan, dll. Namun jangan dilupakan juga bahwa asimilasi pun kerap terjadi di dalam hubungan etnik kawasan yang menciptakan campuran-campuran seperti Mongol-Uyghur, Uyghur-Han, bahkan Mongol-Kazakh-Uyghur dan Kazakh-Hui-Uyghur-Han.

Pelurusan tentang informasi seperti ini sangat dibutuhkan, apalagi sering terjadi usaha menciptakan “sesat pikir” yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bisa saja muncul klaim-klaim dengan tendensi “cocoklogi” yang lagi-lagi malah berusaha membuat pengaitan “ajaib”, seumpama dengan menghadirkan narasi “Uyghur Bekas Wilayah Khilafah ‘Turki’ Utsmani”.

BACA JUGA: Hook Iran Untuk Israel

Dapat dipahami kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk Islam, terutama tentang kesedihan yang muncul tatkala mendengar saudara-saudari seagama kita diancam keselamatannya atau ditindas kemerdekaan beragamanya. Tetapi bukan berarti kita menutup mata dari informasi ilmiah. Perlu dicatat juga, buku “Origins of Chinese People and Customs” yang dikompilasi Li Xiaoxiang dan diilustratori oleh Fu Chunjiang, menyebut bahwa yang termasuk dalam Bangsa Tionghoa yang hidup di Tiongkok bukan hanya etnis Han, melainkan pula minoritas Uyghur, Kazakh, Bai, Mongol, dan Tibet. Bahkan saat Bapak Bangsa Cina Modern, setelah jatuhnya Dinasti Qing/Manchu (1911), Sun Yat Sen mengakui bahwa “Semua Muslim” (tanpa memandang etnisnya sebagai Hui atau Uyghur-Pen) sebagai salah satu dari “Lima Orang”/Lima Kelompok Bangsa – bersama dengan Manchu, Mongol, Tibet, dan Han – yang telah mendirikan “Republik (Nasionalis) Cina”.

Hikmah yang bisa kita peroleh dari tulisan sederhana ini ialah sebuah kebijaksanaan berpikir mengenai keberagaman yang ada di dunia. Keragaman manusia bisa terjadi  dalam berbagai jenis, seperti contohnya perbedaan agama maupun bangsa. Adakalanya sebuah bangsa memiliki ciri khas homogen dalam aspek agama, tetapi sebuah bangsa bisa pula terdiri dari komponen-komponen pemeluk agama yang beragam. Agama pun tidak mutlak dianut oleh sebuah etnis tertentu, seperti Hui dan Uyghur yang sama-sama Muslim namun memiliki tuturan bahasa berbeda : Hui berbahasa Han/Sinitik yang serupa dengan masyarakat Cina kebanyakan, sedangkan Uyghur menjadi penutur rumpun bahasa Turkik.

Kita juga dapat melihat bahwa beberapa bangsa bisa saja berpindah dari tempat asalnya, semisal Orang Kazakh yang tidak menetap di Kazakhstan melainkan di Cina, termasuk para Muslim Timur Tengah dari Arab, Persia, atau Bukhara yang lalu menurunkan etnis Hui. Realitas ini bukanlah masalah, yang kita butuhkan adalah saling menghormati, menyayangi, dan melindungi di tengah pluralitas.

Penulis: 

Arafah Pramasto

 (Anggota PCI Muhammadiyah Iran)

Sapta Anugrah,S.Pd.

(Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)

 

Sumber :

  Fuller, Graham E., Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam ?, Bandung : Mizan, 2014.

  Gondomono, Manusia dan Kebudayaan Han, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2013.

  Majalah Moeslim Choice Edisi 07/Juni 2018.

  Xiaoxiang, Li. Fu Chunjiang, Origins of Chinese People and Customs : Asal Mula Budaya dan Bangsa Tionghoa, Jakarta : Elex Media Computindo, 2003.

  Xin, Xu, Orang-orang Cina yang Mempengaruhi Dunia Islam, Yogyakarta : Pustaka Solomon, 2010.

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: