Palembang Sebagai Kota Keilmuan Masa Sriwijaya

Palembang Sebagai Kota Keilmuan Masa Sriwijaya

Lanskap Peradaban Sriwijaya--

SIASAT.CO.ID - Mungkin masyarakat Palembang sudah tak asing lagi dengan prasasti-prasasti Sriwijaya sebagai sumber tulis tertua mengenai kerajaan ini, sebut saja Prasasti Kedukan Bukit yang bertarik 604 Saka atau antara 682-683 M. Prasasti ini dapat dianggap sebagai pustaka pertama sekaligus “akta kelahiran” kota Palembang oleh Dapunta Hyang – seperti dalam kebanyakan keyakinan sejarawan. Namun, dalam buklet Pekan Pustaka Palembang tahun 2019 lalu menjelaskan, Prasasti Talang Tuo yang berangka tahun 684 M terasa (lebih) penting untuk dibahas. Ada beragam tafsir atas prasasti yang memuat informasi pendirian Taman Sri Ksetra dalam prasasti itu. Salah satu yang paling unik ialah penafsiran sejarawan R.H.M. Akib, Taman Sri Ksetra adalah Taman Perpustakaan. Nampaknya ia mengajukan tafsir itu berdasarkan teks prasasti yang memuat kata-kata pengetahuan dan kecerdasan – jika merujuk terjemahan Ronkel (1924) dan Coedes (1930) :

...Semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan...

R.H.M. Akib juga berpendapat bahwa kala itu tidaklah terdapat orang yang buta huruf. Kesimpulan itu nampaknya ia bangun berdasarkan asumsi bahwa peletakan prasasti Talang Tuo mengandaikan penduduk Wanua Sriwijaya dapat membaca isinya. Pendapat ini sesungguhnya sangat kuat karena rangkaian kalimat sebelum isi prasasti berbunyi : Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di manapun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Tidak bisa dinafikan bahwa harapan dalam prasasti ini adalah sebentuk idealisme kehidupan individu ataupun bermasyarakat (secara umum).

Menyoal masalah alternatif ini, ada salah satu interpretasi unik lainnya mengenai Prasasti Kedukan Bukit yang disebutkan di awal tadi. Jika kebanyakan para ahli meyakini prasasti ini sebagai penanda awal pendirian kerajaan Sriwijaya, Nia Kurnia Sholihat Irfan dalam bukunya Kerajaan Sriwijaya tidak berpendapat sedemikian. Baginya, permasalahan yang kerap muncul adalah saat ungkapan marwuat wanua dalam prasasti ini diartikan sebagai membuat kota. Menurut Irfan, terdapat arti sekunder dari wanua yakni rumah atau bangunan, seperti penjelasan Prof. Coedes bahwa kata itu dapat berarti kota, kerajaan, dan rumah pertahanan.

BACA JUGA: Islam di Cina, Soal ‘Hui’ hingga Uyghur

Selain itu, sudah menjadi tradisi umum di dunia ini bahwa “kota” dan “rumah” sering disebut dengan satu istilah (Yunani : Oikos, Arab : Bayt, dan Sunda : Bumi). Dalam hal ini perlu kita perhatikan pecahan prasasti no. D.161 yang ditemukan di Palembang, isinya serupa dengan isi Kedukan Bukit. Pada pecahan prasasti itu tercantum kalimat : wihara ini, di wanua ini. Jadi wanua (rumah) yang dimaksudkan rupanya adalah sebuah wihara (rumah peribadatan). Jadi, dengan landasan itu, tafsir alternatif ini secara lengkap ialah sebagai berikut :

Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk menggabungkan diri dengan balatentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin balatentaranya berangkat dari Minanga untuk kembali ke ibukota. Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Tanggal 5 Asada (16 Juni) mereka tiba di Mukha Upang, sebelah timur Palembang. Sesampainya di ibukota (Palembang), Dapunta Hyang menitahkan pembuatan wanua (bangunan) berupa sebuah wihara, sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira. Dengan demikian prasasti Kedukan Bukit memperkuat bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya beribukota di Palembang.

Meskipun bersifat alternatif, tafsir di atas mempunyai beberapa kecocokan apabila kita ikut meluaskan lingkup tematiknya yakni perihal agama. Sekitar seabad sebelum munculnya Sriwijaya kawasan ini (Pantai Timur) didapati kemajuan peradaban berupa dua candi dari batu putih dari kawasan Kota Kapur (Pulau Bangka) maupun sebuah arca Buddha di Bukit Siguntang Palembang yang berasal dari abad ke-6 Masehi. Artinya, seabad sebelum pendirian kerajaan besar ini, secara epigrafi maupun historis tampaknya telah dipengaruhi agama Buddha. Awalnya, agama Buddha mencapai kejayaannya di India pada abad ke-5 M, kemudian tersebar ke Asia Tenggara dan Asia Timur, sehingga menjadi pilihan bagi kerajaan-kerajaan kuno di Sumatera. Maka, pendapat-pendapat alternatif bahwa isi Prasasti Kedukan Bukit yang sebenarnya menandakan pendirian wihara pada 682 M dan Taman Sri Ksetra yang dimaksud dalam Prasasti Talang Tuo pada 684 M ialah Taman Perpustakaan, menjadi cukup beralasan.

Belum lagi didapati catatan sejarah yang usianya bahkan lebih awal dari Prasasti Kedukan Bukit yakni catatan pendeta Buddha asal Cina bernama I-Tsing. Ia pernah tinggal selama enam bulan di Sriwijaya pada tahun 672 M, 10 tahun sebelum tarikh Prasasti Kedukan Bukit. Di Sriwijaya I-Tsing belajar bahasa Sansekerta. Menurut catatannya, di kerajaan ini terdapat sekitar seribu pendeta yang menguasai pengetahuan agama seperti pendeta-pendeta di Madhyadesa, India. I-Tsing juga menganjurkan jika seorang pendeta Cina ingin belajar agama di India, sebaiknya belajar selama setahun atau dua tahun lebih dahulu di Sriwijaya, baru kemudian belajar ke India. Meski I-Tsing seorang tokoh asing, namun kebesaran Sriwijaya kemudian dicatatkan dalam sumber tertulis yang mendunia karena kemudian ia menulis buku Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan di Bukit Seguntang. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan pada tahun 2014. Meski bukan bertema khusus tentang Palembang, buku ini dapat menjadi tonggak sejarah perihal penulisan menggunakan kertas di kawasan Palembang. Sebagai sumber penulisan sejarah, buku ini sebanding dengan Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi bukti tertulis tentang lokasi wanua Sriwijaya.

BACA JUGA: Persia-Nusantara dalam Lintas Sejarah Komoditas

Predikat Palembang sebagai Kota Tertua nampaknya masih belum cukup untuk disematkan pada ibukota Sumatera Selatan ini. Ada pertimbangan yang sangat kuat untuk ikut memahkotai Palembang sebagai Kota Keilmuan karena catatan sejarahnya. I-Tsing melanjutkan catatannya – dengan penuh penghormatan pastinya – tentang keberadaan seorang guru agama Buddha yang termasyhur bernama Syakyakirti di Sriwijaya. Memang, di samping Sakyakirti juga terdapat nama pemuka Buddha lainnya yang kerap disandingkan namanya yakni Dharmapala. Namun, Sakyakirti lebih kesohor karena buah pikirannya yakni sebuah kitab keagamaan berjudul Hastadanta Sastra.

Selain Syakyakirti dan Dharmapala, seorang mahaguru lain yaitu Vajrabodhi pernah mengunjungi Palembang pada 717 dan kemudian menyebarkan agama Buddha di Cina. Bisa dikatakan bahwa kemajuan pada bidang ilmu agama ini nampaknya telah menempatkan Sriwijaya yang berpusat di Palembang sebagai salah satu dari jaringan pusat ilmu pengetahuan dalam lingkup internasional. Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai hal ini, sedikitnya kita harus melihat sisi lain di samping soal keagamaan, mengingat bahwa kemajuan tersebut tak mungkin terjadi tanpa didukung oleh stabilitas politik.

Keberaksaraan prasasti di Sriwijaya memiliki dampak signifikan pada bidang pemerintahan. Prasasti Telaga Batu merupakan salah satu bukti penanda otentik bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang. Berasal dari abad ke-7 Masehi, Telaga Batu secara fisik memiliki ukutan tinggi 56 cm, lebar 148 cm, dan ditemukan di situs Sabokingking 3 Ilir Palembang. Berbahasa Melayu Kuno dengan huruf pallawa, prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu dengan dihiasi tujuh kepala ular kobra ini berisi sumpah setia baik para pejabat kerajaan, kerabat raja, para pekerja, dan bahkan hamba raja Sriwijaya. Bagi yang melanggar sumpah ini akan terbunuh oleh kutukan.

Bentuk prasasti yang dihiasi ornamen ular serta cerat di bawahnya diduga dipakai dalam ritual Minum Sumpah yakni sebuah prosesi saat air dituangkan ke batu dan lalu diminum sebagai sumpah setia. Hasil dari monumen kesetiaan itu diperoleh seabad sesudahnya yakni tatkala pada abad ke-8, kekuasaan Sriwijaya telah berekspansi sampai ke wilayah Semenanjung Malaya serta Tanah Genting Kra di Thailand selatan dengan bukti keberadaan Prasasti Ligor tahun 775 M.

BACA JUGA: Menjejak Sejarah ‘Posse’ di Dunia Islam

Kemajuan geopolitik itu terus dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, kali ini justru Sriwijaya tidak hanya berkarya di buminya sendiri, melainkan pula di negeri lain. Salah satu contoh adalah hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala di India. Balaputradewa kemudian memerintah sekitar tahun 850 M, nama Sriwijaya juga dikenal sebagai “Suvarnabhumi” yang artinya “bumi emas”. Penyebutan itu terlihat sebagai sebuah pencapaian ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang semakin maju.

Di zaman kekuasaan Balaputradewa itu, Kerajaan Sriwijaya mendirikan asrama di Nalanda bagi para pelajar Sriwijaya yang menuntut ilmu di universitas tertua di dunia tersebut. Kini dari 14 bangunan asrama mahasiswa yang ada, satu-satunya yang relatif utuh adalah asrama yang dibangun oleh penguasa Sriwijaya. Sebuah tinggalan sejarah yang luar biasa. Tidak sampai di situ, pada sebuah prasasti yang tersimpan di Leiden (disebut Piagam Leiden) disebutkan bahwa Raja Sri Cudamaniwarman / Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya, yang kemudian dilanjutkan oleh Sri Marawijayottunggawarman, dengan bantuan raja Cola yang bernama Rajakesariwarman Rajaraj I mendirikan sebuah kuil agama Buddha di Nagipattana (Nalanda) yang diberi nama Cudamaniwarmawihara.

Selain peristiwa yang terekam dalam sumber sejarah India mengenai Sriwijaya, ada tiga buah manuskrip dari negeri-negeri lainnya yang ikut mengabadikan kebesaran Sriwijaya. Manuskrip Sung-shih (Sejarah Dinasti Sung) Buku 489 mencatat bahwa raja San-fo-tsi (sebutan Cina untuk Sriwijaya) pada tahun 1003 bernama Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa (Sri Sri Cudamaniwarmadewa) dan selanjutnya pada tahun 1008 M diganti oleh Se-li-ma-la-pi (Sri Marawijayottunggawarman). Sebuah kronik Tibet berjudul Durbodhaloka, yang ditulis pada awal abad ke-11, menyebutkan nama Maharaja Sri Cudamaniwarman dari Sriwijayanagara (Negara Sriwijaya) di Suwarnadwipa (Sumatera). Juga manuskrip Nepal abad ke-11 memuji-muji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan agama Buddha, dan memiliki arca indah Lokanatha di Sriwijayapura (Kota Sriwijaya).

Dengan begitu bisa digambarkan bahwa masa keemasan Palembang kuno sebagai sebuah Kota Keilmuan terbentang antara abad ke-7 hingga ke-11 Masehi, artinya selama ± 300 tahun Sriwijaya telah memberi peran besar dalam bidang pendidikan agama Buddha di sekitar kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, sampai Asia Selatan.

 Penulis:  

Arafah Pramasto,S.Pd. 

(Anggota PCI Muhammadiyah Iran)

 

Sumber :

 Buklet Pekan Pustaka Palembang (Perpustakaan Masjid Agung Palembang 21-28 April 2019).

  Irfan, Nia Kurnia Sholihat, Kerajaan Sriwijaya, Jakarta : Girimukti Pasaka, 1983.

  Mahmud, Kiagus Imran, Sejarah Palembang, Palembang : Penerbit Anggrek Palembang, 2008.

  Pramasto, Arafah, “Talang Tuo : Nama-nama yang Jangan Dilupa”, dimuat Pelita Sumsel 11 Agustus 2018.

  Pramasto, Arafah, dkk., Makna Sejarah Bumi Emas (Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-tema Lainnya, Bandung : Ellunar Publisher, 2018.

  Sulistyaningsih, Cahyo, M.Yusef Rizal, Profil Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya, Palembang : Disbudpar Provinsi Sumatera Selatan UPTD Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya, 2015.

  Wargadalem, Farida R., “Pusat Unggulan Sriwijaya”, dalam Sumatera Ekspress 8 Januari 2015.

 

 

 

Sumber: