Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Kekerasan serupa terulang pada Minggu 26 Agustus 2012. Wildan bercerita, warga Syiah di Desa Karanggayam dan Desa Blu'uran tengah merayakan lebaran ketupat.

"Waktu kejadian itu saya di Blu'uran. Saya lagi ke rumah nenek buat benerin kuburannya kakek."

Matahari baru saja mendongakkan sinarnya. Beberapa orang tua menggandeng anaknya hendak berjamu ke rumah kerabat. Ada juga yang akan mengantar anaknya berangkat ke pesantren di luar kota.

Hawa pagi itu masih sejuk. Seorang pria berusia 20-an tahun yang sedang bersiap-siap memugar pusara kakeknya, tiba-tiba berpamitan kepada sanak famili. Lelaki itu adalah kakak kandung Wildan. Tanpa memberi tahu alasan mohon diri, ia pulang dengan berjalan kaki menuju rumahnya di Desa Karanggayam. Sekitar 10 menit pria itu sampai di rumahnya.

Tak jauh dari rumah, ke arah Selatan, dua buah mini bus sedang menanti penumpang di pinggiran jalan raya. Ada 20 orang yang terdiri dari orang tua dan anak-anak santri hendak menuju sebuah pesantren di Bangil dan Malang. Di lokasi itu, sebuah insiden terjadi, yang kemudian memicu konflik berdarah Sunni-Syiah di Indonesia.

"Ada orang-orang teriak, orang-orang ramai, ternyata itu tetangga saya," kata Wildan.

"Di situ ada anak-anak yang mau berangkat mondok dihalangi oleh oknum-oknum warga di sana."

Puluhan lelaki dewasa dari warga Nahdiyin dengan membawa senjata tajam menghampiri rombongan yang akan berangkat. Mereka memaksa keluar dari mobil dan melarang para santri meninggalkan desa. Jika melawan, sekolompok lelaki bak preman ini mengancam akan membakar mobil.

Baca Juga: Seminar Horor di Kalibata

Layaknya tawanan perang, rombongan Syiah ini diboyong kembali ke desa dan dipaksa pulang ke rumah masing-masing. Sempat terjadi perlawanan verbal dari orang tua santri. Akibat tekanan yang tak sebanding, warga Syiah memilih balik ke rumah.

Kabar mengenai penghalangan santri-santri Syiah ini segera tersiar ke penjuru desa hingga sampai ke telinga Wildan. Ia bersama keluarganya bergegas memastikan keadaan yang sudah diambang bentrok. Tak sampai lama serombongan warga Syiah yang terlibat insiden tadi bertahan di rumah. Mereka mencium gelagat akan adanya serbuan lanjutan.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, Nahdiyin yang berjumlah puluhan itu mulai menggalang massa. Tak butuh waktu lama, jumlah mereka telah bertambah menjadi ratusan orang. Saat itulah terdengar kasak-kusuk bahwa mereka akan menyerang dan membakar semua rumah warga Syiah. Tersiar juga bagi yang coba-coba melawan akan dibunuh.

Wildan menuturkan sekelompok warga Syiah ini pun angkat kaki dari rumah menuju kediaman pimpinan jemaah mereka. Bukan apa-apa, mereka juga mengkhawatirkan kondisi keluarga Tajul Muluk. Di rumah itu, ada ibu, istri, dan lima anaknya. Saat itu Tajul sedang tak di rumah. Ia tengah menjalani hukuman dua tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sampang atas dakwaan penodaan agama yang dituduhkan warga Nahdiyin terhadap dirinya.

Sejumlah jemaah Syiah di Karanggayam kemudian berduyun-duyun ke kediaman Tajul Muluk. Di Blu'uran, warga Syiah juga sudah mendengar adanya kabar Nahdiyin yang mengamuk beringsut ke pusat pengajian Syiah tersebut. Terbawa rasa khawatir, mereka juga berangkat ke sana.

Warga Syiah dari kedua desa itu pun berhimpun layaknya kafilah Husein bin Ali yang hendak berangkat menuju Kufah.

Sumber: