Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Kaum Nahdiyin yang baru saja mengotori tangan mereka dengan darah sempat membiarkan warga Syiah menyelamatkan diri. Tapi, itu bukanlah akhir dari ulah premanisme. Aksi selanjutnya para Nahdiyin membakar rumah Tajul hingga ludes.

Matahari mulai terik, massa Nahdiyin yang isi kepalanya sudah dibakar amarah itu masih belum puas menyulut api. Mereka pun bergerak membakar satu demi satu rumah warga Syiah. Waktu sudah memasuki zuhur, yang terdengar saat itu bukanlah kumandang azan, melainkan kertakan kayu-kayu rumah bermandikan api. Insiden berdarah di Karanggayam saat itu bak peristiwa pembantaian rombongan Husain bin Ali di Padang Karbala.

Kepanikan hebat mengguncang batin para jemaah Syiah. Tangis pilu berpadu napas yang terengah-engah terdengar di sana sini. Sebagian di antara mereka berlari ke arah kebun berbukit yang berada tak jauh dari perkampungan. Dari balik bukit itu, sejumlah mata menatap ke arah dusun yang sebagian lingkungannya sudah menjadi lautan api, membakar setiap kusen, melahap semua sisi bangunan, suara kayu berderak-derak, sampai akhirnya roboh menjadi arang.


Di sini sebelas tahun lalu pernah berdiri rumah dan pesantren Tajul Muluk. Kini yang tersisa hanya bangunan kecil yang dulu digunakan sebagai kamar mandi.--Foto: BBC Indonesia

Wildan bercerita, "Posisi saya waktu itu di dekat rumah sama nenek ngumpet."

"Setelah aksi pembakaran itu datang brimob-brimob ngamanin. Orang-orang yang ngumpet di kebun itu dicari. Habis itu ketahuan, diamanin, setelah itu saya ke rumah sudah ludes enggak ada apa-apanya. Enggak ada sisanya."

"Pakaian cuma yang ada di badan doang. Yang diamanin waktu itu cuma ijazah sama rapor. Mereka (Nahdiyin) enggak ngasih waktu," tutur Wildan.


Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak warga Syiah, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Blu'uran, Sampang, Madura, Senin (27/8/2012).--(Foto: Antara).

Mengadu Nasib di Tapal Kuda

"Kalau saya cuma diam di rusunawa, tanpa melanjutkan pendidikan, enggak ada perkembangan," ucap Wildan ketika ditanya motif ia merantau.

Satu windu setelah peristiwa pilu di Karanggayam, Wildan merantau ke Jember untuk berkuliah. Di sana ia tidak memiliki siapa-siapa selain seorang temannya, Azhar, yang satu tahun lebih dulu merantau. Berbeda dengan Wildan, Azhar orangnya lebih tertutup dan sungkan bercerita banyak tentang keadaan yang mereka alami sebagai pemeluk Mazhab Ja'fari.

Dua pemuda Syiah ini mengaku lebih tenteram hidup di Jember. Meski sebagian besar penduduk di sana adalah Nahdiyin, warganya tak terlalu mau ambil ribut soal perbedaan mazhab. Warga Nahdlatul Ulama (NU) di lingkungan mereka tinggal lebih terbuka, terlebih di sana adalah area kampus. Jember juga merupakan daerah asal salah satu cendekiawan Syiah terkemuka, Muhsin Labib Assegaf–pernah menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Meski bermazhab Syiah, selama kuliah dan menetap di Jember, Wildan dan Azhar akrab dengan lingkungan NU. Kemiripan amaliah membuat dua aliran ini tak kaku bila dipertemukan. Mereka juga tak pernah mengalami diskriminasi di daerah ini.

Satu-satunya tantangan adalah keterbatasan ekonomi. Dalam sebulan, Wildan hanya menerima sangu sebesar Rp 200-300 ribu dari orang tuanya. Jumlah ini jauh dari cukup untuk kebutuhan mahasiswa pada umumnya. Keadaan ini begitu memukul pola hidup Wildan.

"Biasanya Rp 200, 300 (ribu). Ya seadanya orang tua. Kalau saya minta satu juta enggak mungkin juga," ujarnya.

Orang tua Wildan bekerja sebagai pengupas kelapa di lingkungan Rusunawa Jemundo. Penghasilannya tak begitu memadai. Dalam sepekan, orang tuanya hanya memperoleh Rp 500 ribu untuk upah mengupas kelapa. Terkadang hanya sampai Rp 400 ribu. Penghasilan ini didapat jika setiap harinya ada orderan dari pabrik kelapa.

Sumber: