Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

"Itupun enggak kerja tiap hari. Kadang satu Minggu itu kerjanya cuma sekali, kadang dua kali. Menunggu datangnya pesanan kelapa sama menunggu bukanya pabrik," kata Wildan. "Kadang sebulan enggak nyampe sejuta, Rp 500 ribu aja kadang enggak nyampe juga."

Keadaan ekonomi yang tak menentu membuat keluarga Wildan pusing tujuh keliling setiap kali tiba tanggal tua. Bagaimana tidak, di rusunawa, Wildan punya tiga orang adik yang masih sekolah. Semuanya tentu masih membutuhkan tanggung jawab orang tua. Kadang kalau lagi kepepet, Wildan tak dapat kiriman tepat waktu.

Lantas bagaimana bertahan hidup dengan uang Rp 200 ribu dalam sebulan?

"Mau enggak mau saya harus ngirit, Bib. Kadang untuk kebutuhan Rp 5.000 sehari, kadang Rp 10.000 tiga hari," kata Wildan.

Syukurnya, Wildan punya stok beras di kontrakan. Setiap kali pulang ke rusunawa, bekal utama yang perlu di bawa balik ke Jember adalah beras. Ibunya tahu bahwa dia tak punya cukup uang untuk membeli beras. Duit bulanan hanya cukup beli lauk. Jangan harap bisa jajan. Kehidupan pemuda 22 tahun itu lebih ripuh dibanding anak pondok.

Satu-satunya nutrisi yang dia telan hanyalah minyak jelantah. Setiap kali makan, lauknya adalah gorengan bakwan, tempe, atau tahu yang dia beli di warung makan tak jauh dari kontrakannya. Sekali-kali Wildan juga suka berlauk mie instan.

"Lauknya kadang gorengan. Kadang mie biasa yang Rp 3 ribu-an atau yang Rp 2-ribu."

Di Jakarta, gorengan dengan harga Rp 5.000 dapat empat buah.

"Di sini gorengan ada yang harganya Rp 500. Yang lebih besar lagi Rp 1.000," kata Wildan.

Wildan berkelakar, saking seringnya makan dengan lauk gorengan, ia yakin tak akan terserang penyakit jantung. Astaga, ternyata selama tiga tahun dia hidup dengan makan gorengan.

"Kalau udah terbiasa enggak. Udah menjadi kekebalan tubuh," celotehnya.

Hidup serba hemat di atas rata-rata, membuat pemuda ceking ini harus mengulur jadwal makannya. Pagi-pagi ia hanya menenggak air. Makan berat baru ia lakukan di siang bolong dengan harapan dapat menjaga daya tahan tubuhnya dari rasa lapar hingga hari gelap. Saat malam tiba, kadang cuma bisa ngemil, kadang bahkan tak makan apa-apa.

Selain susah soal kebutuhan pokok, hal lain yang membuat Wildan pusing adalah bayaran kuliah. Padahal setiap semester bayarannya cuma Rp 400 ribu berkat keringanan Program Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, kesulitan ekonomi yang membelit membuatnya kadang harus terlambat membayar kewajiban kampus.

Wildan punya strategi untuk mengatur keuangannya. Karena sebulan hanya dibekali Rp 200 ribu, dia menargetkan dalam sepekan uang yang harus keluar dari dompetnya hanya Rp 50 ribu. Jelas pengeluaran itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Lebih dari itu, ia bisa tak makan.

"Uang kebutuhan sehari-harinya harus ditarget satu Minggu. Kadang Rp 50 ribu satu Minggu," katanya.

Sumber: