Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Karena hidup pas-pasan, kata Wildan, "orang malam mingguan, saya ndak ada malam mingguan."

Sekadar melepas penat, Wildan mengaku malam Minggu cuma bisa nongkrong sambil minum kopi di alun-alun Kota Jember. Kopinya pun ditraktir teman. Pedihnya, tak ada ngapel dalam kamus Wildan. Isi kantong yang cuma bisa buat beli lauk murah meriah membuat dirinya tak percaya diri mendekati perempuan. Lagi pula, orang tuanya meminta dia agar fokus saja pada kuliah.

"Enggak pacaran, cuma ada gitu keinginan," ujarnya.

Di Sidoarjo maupun di Jember, kehidupan Wildan sama-sama susah. Sejak diasingkan ke rusunawa Jemundo, kehidupan warga Syiah Sampang jadi terkatung-katung.

Hidup dalam status sebagai pengungsi bagi mereka adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka tidak pernah berpikir akan meninggalkan rumah dan lingkungan yang sudah mereka tempati sejak lahir. Biasanya jika mereka pergi meninggalkan rumah hanya sementara waktu, baik karena keperluan berlibur, berkunjung ke keluarga yang ada di luar Madura, maupun bekerja di luar kota Sampang atau menjadi TKI di luar negeri.

Namun sejak insiden pembakaran dan pengusiran pada 2012 silam, mereka benar-benar harus meninggalkan rumah dan kampung halaman. Mereka tidak sempat mengemas barang-barang berharga yang dimiliki, termasuk dokumen penting seperti ijazah, akta kelahiran, kartu keluarga, dan dokumen berharga lainnya.

"Jikapun ada yang diselamatkan, itu hanya beberapa,” ucap Fitria, salah satu pengungsi yang juga istri Iklil Al-Milal, adik Tajul Muluk.

Pasca warga Syiah menyelamatkan diri ke SDN Karanggayam, mereka terdesak kembali sehingga harus dievakuasi ke Gedung Olahraga (GOR) Sampang. Pihak kepolisian dan Pemerintah Kabupaten Sampang berdalih evakuasi warga Syiah hanya sementara waktu demi memulihkan keadaan.

Hampir seluruh anggota komunitas Syiah Sampang tidak menyangka akan berada di sana hingga begitu lama. Semula mereka beranggapan bahwa setelah kondisi kampung aman dapat pulang kembali, namun kenyataannya mereka tetap tidak diizinkan pulang dengan alasan yang sama: demi keamanan. Akhirnya, dalam keadaan yang serba terbatas mereka bertahan di GOR kurang lebih selama sepuluh bulan.

Kehidupan mereka selama di GOR sungguh memprihatinkan. Di samping masih menghadapi teror dan ancaman dari kelompok anti-Syiah, sarana dan prasarana yang mereka dapatkan di area pengungsian masih terbatas dan jauh dari kata layak. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang jatuh sakit dan mengalami gizi buruk.

Penderitaan yang dialami oleh warga Syiah selama di GOR masih belum cukup membuat kelompok Nahdiyin Sampang senang sebelum mereka meninggalkan tanah Madura. Iklil bercerita, tepat pada Kamis, 20 Juni 2013, datanglah peristiwa yang membuat komunitas Syiah terdesak dan membuat mereka dengan sangat terpaksa meninggalkan GOR.

“Alasan waktu itu untuk digunakan istigasah oleh ulama Se-Madura dan katanya jumlah pesertanya ribuan, sehingga yang cukup menampung peserta segitu cuma di GOR… Namun sejak awal saya sudah curiga, sebab sudah lama kami dipaksa untuk meninggalkan GOR,” kata Iklil.

Satu hari sebelum istigasah, Iklil dibawa oleh personel kepolisian ke Kantor Polres Sampang dengan alasan untuk dimintai keterangan. Namun setibanya di lokasi, sudah berkumpul Kepala Bakesbangpol Sampang, Kepala Dinas Sosial Sampang, dan sejumlah ulama representasi Badan Silaturrahmi Ulama Se-Madura (BASRA). Pertemuan Itu pada intinya meminta Iklil bersedia menandatangani persetujuan untuk direlokasi ke rusunawa. Tapi Iklil menolak. Ia menegaskan para pengungsi ingin kembali ke desanya, bukan diungsikan ke luar Sampang.

Penolakan Iklil tak digubris. Warga Syiah tetap harus direlokasi. Kelompok Kerja Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (POKJA AKBB) Jawa Timur yang terdiri dari berbagai organisasi bantuan hukum dan organisasi kemanusiaan, menyebutkan bahwa proses pemindahan warga Syiah Sampang dari GOR ke rusunawa dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan para korban.

Iklil bercerita, saat itu keadaan mereka terdesak, tak berdaya, dan dipaksa. Hal inilah yang membuat mereka akhirnya mau direlokasi ke rusunawa. Adapun kata Fitria, mereka dijanjikan seminggu untuk tinggal di rusunawa, namun ternyata bertahun-tahun.

Sumber: