Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

“Enakan di Madura bisa bermain di sawah, mandi di sungai main petasan, terus enggak dimarahi kalau ramai,” ujar Heri, 10 tahun.

Anak kecil yang senang bermain ini harus menanggung beban kehilangan tempat bermain yang dicintainya akibat konflik orang dewasa.

Derita di rusunawa menunjukkan bahwa Pemprov Jatim belum dapat menemukan jalan damai bagi konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura. Hak-hak warga Syiah di Sampang juga belum mendapatkan kejelasan, termasuk hak-hak untuk mendapatkan identitas di Sampang.

Peran FPI dan Intrik Politik di Balik Konflik Sunni Syiah Sampang

Haris Teguh, aktivis Gusdurian yang selama ini mendampingi para pengungsi mengatakan konflik Sunni-Syiah di Sampang ini cukup sulit untuk menemukan titik temu karena sudah masuk wilayah politik. Ia mengatakan kasus Syiah Sampang nasibnya akan sama dengan kasus Ahmadiyah di Lombok yang sengaja tidak diselesaikan oleh pemerintah.

“Kasus Syiah sengaja dirawat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Saya curiga kasus Syiah ini akan diposisikan sama seperti kasus Ahmadiyah yang dilokalisasikan di Lombok."

Awalnya Haris melihat kasus Syiah di Sampang adalah murni konflik antar mazhab. Serangkaian diskriminasi hingga pembantaian yang dilakukan kelompok Nahdiyin terhadap warga Syiah menggambarkan peristiwa itu sebagai konflik sektarian. Namun, fakta yang ditemukan Haris bukan sekadar konflik. Ada peran kelompok Front Pembela Islam (FPI) hingga intrik politik yang membuat kasus ini memanas, juga terus dirawat hingga saat ini.

Haris menyebut ada 'Blater' yang bertanggungjawab menciptakan konflik Sunni-Syiah di Sampang. Ia menyebut Blater adalah istilah Madura yang artinya preman.

"Blater ini bisa berasal dari kiai, sampai santri," katanya.

'Blater-blater' ini rupanya punya rekam jejak yang sama dalam menciptakan konflik. Haris Bercerita, pada 2010 silam saat ia masih bergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Kekerasan (JAMAK) Jawa Timur, kelompok FPI melakukan sweeping terhadap acara konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association atau ILGA di Surabaya.

"Saat itu yang gerebek FPI. Tapi semua laskarnya itu datang dari Madura dan Lamongan. Ketika ada kasus Syiah Sampang, coba kita tarik benang merahnya, itu pelakunya sama," kata Haris.

'Blater' FPI ini kemudian dimanfaatkan oleh 'blater' ulama Madura untuk melibas warga Syiah di Sampang. Menurut Haris, ketidaksukaan pemuka agama di Sampang terhadap ritual keagamaan Syiah yang dibawa Tajul Muluk hanyalah bagian kecil. Kata Haris, seteru perbedaan fikih di kalangan ulama lokal ini hanyalah politik kelas teri yang tak mungkin menimbulkan konflik besar.

"Ini tidak murni soal mazhab, percaya sama saya," Haris coba meyakinkan saya.

"Jadi kekuasaan kiai di Sampang, itu dipolitisasi."

Di Madura, kata Haris, kekuasaan tertinggi ada di tangan kiai, bukan pada pemerintahan. Dari level kepala desa hingga bupati tunduk pada kekuasaan kiai. Ini yang membuat pemerintah daerah di Sampang tak berani melakukan langkah starategis menolong warga Syiah dan menindak kalangan Nahdiyin yang bertanggungjawab atas konflik di sana. Kekerasan memang sudah dikehendaki oleh para 'penguasa bersorban' di Sampang.

Jika ada unsur pemerintah yang mencoba berbeda pendapat dengan kiai, kata Haris, "Habislah. Kepala dinasnya bisa digeser."

Sumber: