Netralitas TNI-Polri Jangan Cuma Pemanis Bibir

Netralitas TNI-Polri Jangan Cuma Pemanis Bibir

Ilustrasi TNI-Polri di Pemilu.--Foto: Detik

PANGLIMA TNI terpilih, Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dihadapkan pada panggilan tugas penting: memprioritaskan kepentingan nasional di atas ikatan personal dengan Presiden Joko Widodo. Menjaga agar pasukan dan sumber daya TNI/Polri tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik Pemilihan Umum 2024 menjadi ujian kritis, terutama dengan keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden, sebagai salah satu kontestan.

Kekhawatiran terhadap profesionalisme Agus Subiyanto dan Listyo Sigit semakin marak. Isu kedekatan mereka dengan Presiden menguat, membuka ruang bagi spekulasi seputar keterlibatan dalam "Geng Solo," kelompok elite di sekitar Istana yang merangkul kepemimpinan di TNI dan Polri sejak Jokowi menjabat Wali Kota Solo.

Proses pengangkatan Agus sebagai Panglima TNI yang berlangsung cepat menimbulkan kecurigaan akan faktor kedekatan pribadi. Rumor ketidaknetralan aparatur pertahanan dan keamanan dalam Pemilu 2024 mencuat, mendorong pembentukan Panitia Khusus Netralitas TNI oleh Komisi I DPR pada November lalu.

Meskipun berbagai rumor mengenai keterlibatan aparat keamanan dalam upaya pemenangan calon presiden masih bersifat spekulatif, upaya untuk mengatasi potensi pelanggaran netralitas tentara dan polisi di lapangan mendapat perhatian serius. Video di media sosial yang mengklaim sebagai bukti operasi senyap juga menjadi sorotan, namun belum ada bukti konkret terkait pengerahan sumber daya secara masif dan terorganisir dari pimpinan polisi dan tentara.

Sejak era reformasi, kekhawatiran akan keterlibatan TNI/Polri dalam politik praktis selalu menjadi perhatian utama. Pemantauan terhadap potensi keterlibatan politik praktis di Pemilu 2024 semakin ketat, dengan terbentuknya Panitia Khusus Netralitas TNI yang melibatkan unsur DPR dan pemerintah.

BACA JUGA:Cerita Puspen TNI Soal Baku Tembak dengan KKB hingga Gugurnya Pratu Arifin

Mengingat sejarah panjang reformasi yang memperjuangkan independensi dan netralitas TNI/Polri, menjaga integritas proses demokratis adalah tugas berat. Panglima TNI dan Kapolri harus memastikan bahwa korpsnya tidak menjadi alat politik. Dalam menghadapi tantangan Pemilu 2024, keberhasilan mereka dalam menjaga netralitas akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia.

Seiring mendekatnya masa kampanye Pemilu 2024, kecemasan publik tak terhindarkan. Sentuhan unik pemilihan calon presiden kali ini, yang melibatkan putra presiden aktif sebagai calon wakil presiden, menciptakan dinamika baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tradisi kepala negara yang menjauh dari proses pemilihan penggantinya terancam berubah, terutama dengan kemungkinan Presiden Joko Widodo menggunakan segala kekuasaannya, termasuk posisinya sebagai panglima tertinggi TNI dan Kapolri, untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Netralitas TNI dan Polri dalam pemilu bukan sekadar tuntutan hukum, melainkan amanah reformasi yang diwujudkan dalam TAP MPR RI Nomor VII Tahun 2000. Penegakan netralitas ini juga diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 39 ayat 2 UU TNI menegaskan bahwa "Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis," sementara UU Polri Pasal 28 ayat 1 menetapkan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis."

Pengerahan kekuatan TNI dan Polri untuk kepentingan salah satu calon presiden dianggap sebagai pelanggaran berat yang tak dapat ditoleransi. Jenderal Agus Subiyanto dan Jenderal Listyo Sigit memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa korps mereka tidak disalahgunakan sebagai alat politik kelompok manapun.

BACA JUGA:KKB Papua Brutal Pos TNI Diserang, 6 Orang Meninggal dan 9 Disandera

Netralitas TNI/Polri menjadi kunci utama agar proses pemilu dapat berlangsung jujur dan adil. Tanpanya, demokrasi Indonesia berisiko hancur, dan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan keamanan akan mengalami penurunan signifikan. Inilah saat ujian sejarah bagi Panglima TNI dan Kapolri, di mana tindakan mereka dalam Pemilu 2024 dapat menciptakan catatan emas atau noda hitam dalam perjalanan menuju kematangan demokrasi yang menjadi cita-cita reformasi 1998.

Sumber: