Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Jumat 31-03-2023,11:12 WIB
Reporter : Rio Alfin
Editor : Reza Al-Habsyi

Irfan Setyanuddin, salah satu pegawai yang dipercaya BPBD Provinsi Jawa Timur menangani pengungsi mengatakan kehidupan warga Syiah Sampang pasca diungsikan ke rusunawa telah kembali normal. Anak-anak dapat bermain dan belajar lagi tanpa rasa takut, para orang tua dapat mencari nafkah tanpa tekanan dari masyarakat sekitar, serta mereka juga semua dapat beribadah sesuai dengan akidahnya.

Irfan juga mengeklaim kehidupan pengungsi Syiah lebih baik berada di rusunawa ketimbang di kampung halamannya. Menurutnya, dengan jumlah tunjangan hidup sebesar Rp 709.000 per-KK per bulan yang diterima, serta lokasi tempat tinggal yang mudah diakses, pengungsi merasa nyaman dan betah selama hidup di rusunawa.

"Dengan uang bantuan dan bekerja di kelapa, pendapatan mereka jauh lebih besar daripada waktu di Sampang Madura. Jadi bisa dikatakan mereka lebih bahagia tinggal di rusunawa daripada harus kembali ke Sampang yang pekerjaannya tidak jelas," ujar Irfan.

Pandangan Irfan bertolak belakang dengan apa yang dirasakan pengungsi Syiah. Mereka masih tetap merasa tidak nyaman dan bimbang atas nasibnya: sampai kapan mereka akan menempati rusunawa? Seorang pengungsi lain, Saudah, mengungkapkan warga Syiah mengaku sangat ingin kembali pulang dan melanjutkan kehidupan di tanah kelahirannya. Bagaimanapun kondisi di Sampang, mereka tetap merindukan rumahnya.

“Nyaman gimana, ini tempatnya orang, ndak bebas. Kalau di tempat sendiri di Madura ya enak meskipun makannya singkong aja enak. Kalo di sini meskipun makannya sama ikan tetap nggak enak. Masih enakan di Madura."

Kehidupan warga Syiah di rusunawa seperti tak ada gejolak yang berarti. Namun jika diajak berbincang, gejolak terpendam mereka terasa sekali. Satu hal yang membuat mereka begitu ingin kembali ke Sampang adalah kerinduan mereka dengan aktivitas mencangkul di sawah dan bercengkerama dengan warga desa. Anak-anak juga rindu bermain di sawah, mandi di sungai serta bermain petasan di depan rumah.

Bukan hanya orang dewasa, anak-anak yang menjadi pengungsi juga menyimpan kerinduan terhadap teman-teman di kampung dan suasana bermain di desa.

“Enakan di Madura bisa bermain di sawah, mandi di sungai main petasan, terus enggak dimarahi kalau ramai,” ujar Heri, 10 tahun.

Anak kecil yang senang bermain ini harus menanggung beban kehilangan tempat bermain yang dicintainya akibat konflik orang dewasa.

Derita di rusunawa menunjukkan bahwa Pemprov Jatim belum dapat menemukan jalan damai bagi konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura. Hak-hak warga Syiah di Sampang juga belum mendapatkan kejelasan, termasuk hak-hak untuk mendapatkan identitas di Sampang.

Peran FPI dan Intrik Politik di Balik Konflik Sunni Syiah Sampang

Haris Teguh, aktivis Gusdurian yang selama ini mendampingi para pengungsi mengatakan konflik Sunni-Syiah di Sampang ini cukup sulit untuk menemukan titik temu karena sudah masuk wilayah politik. Ia mengatakan kasus Syiah Sampang nasibnya akan sama dengan kasus Ahmadiyah di Lombok yang sengaja tidak diselesaikan oleh pemerintah.

“Kasus Syiah sengaja dirawat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Saya curiga kasus Syiah ini akan diposisikan sama seperti kasus Ahmadiyah yang dilokalisasikan di Lombok."

Awalnya Haris melihat kasus Syiah di Sampang adalah murni konflik antar mazhab. Serangkaian diskriminasi hingga pembantaian yang dilakukan kelompok Nahdiyin terhadap warga Syiah menggambarkan peristiwa itu sebagai konflik sektarian. Namun, fakta yang ditemukan Haris bukan sekadar konflik. Ada peran kelompok Front Pembela Islam (FPI) hingga intrik politik yang membuat kasus ini memanas, juga terus dirawat hingga saat ini.

Haris menyebut ada 'Blater' yang bertanggungjawab menciptakan konflik Sunni-Syiah di Sampang. Ia menyebut Blater adalah istilah Madura yang artinya preman.

"Blater ini bisa berasal dari kiai, sampai santri," katanya.

'Blater-blater' ini rupanya punya rekam jejak yang sama dalam menciptakan konflik. Haris Bercerita, pada 2010 silam saat ia masih bergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Kekerasan (JAMAK) Jawa Timur, kelompok FPI melakukan sweeping terhadap acara konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association atau ILGA di Surabaya.

Kategori :

Terpopuler