Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Jumat 31-03-2023,11:12 WIB
Reporter : Rio Alfin
Editor : Reza Al-Habsyi

Satu-satunya nutrisi yang dia telan hanyalah minyak jelantah. Setiap kali makan, lauknya adalah gorengan bakwan, tempe, atau tahu yang dia beli di warung makan tak jauh dari kontrakannya. Sekali-kali Wildan juga suka berlauk mie instan.

"Lauknya kadang gorengan. Kadang mie biasa yang Rp 3 ribu-an atau yang Rp 2-ribu."

Di Jakarta, gorengan dengan harga Rp 5.000 dapat empat buah.

"Di sini gorengan ada yang harganya Rp 500. Yang lebih besar lagi Rp 1.000," kata Wildan.

Wildan berkelakar, saking seringnya makan dengan lauk gorengan, ia yakin tak akan terserang penyakit jantung. Astaga, ternyata selama tiga tahun dia hidup dengan makan gorengan.

"Kalau udah terbiasa enggak. Udah menjadi kekebalan tubuh," celotehnya.

Hidup serba hemat di atas rata-rata, membuat pemuda ceking ini harus mengulur jadwal makannya. Pagi-pagi ia hanya menenggak air. Makan berat baru ia lakukan di siang bolong dengan harapan dapat menjaga daya tahan tubuhnya dari rasa lapar hingga hari gelap. Saat malam tiba, kadang cuma bisa ngemil, kadang bahkan tak makan apa-apa.

Selain susah soal kebutuhan pokok, hal lain yang membuat Wildan pusing adalah bayaran kuliah. Padahal setiap semester bayarannya cuma Rp 400 ribu berkat keringanan Program Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, kesulitan ekonomi yang membelit membuatnya kadang harus terlambat membayar kewajiban kampus.

Wildan punya strategi untuk mengatur keuangannya. Karena sebulan hanya dibekali Rp 200 ribu, dia menargetkan dalam sepekan uang yang harus keluar dari dompetnya hanya Rp 50 ribu. Jelas pengeluaran itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Lebih dari itu, ia bisa tak makan.

"Uang kebutuhan sehari-harinya harus ditarget satu Minggu. Kadang Rp 50 ribu satu Minggu," katanya.

Karena hidup pas-pasan, kata Wildan, "orang malam mingguan, saya ndak ada malam mingguan."

Sekadar melepas penat, Wildan mengaku malam Minggu cuma bisa nongkrong sambil minum kopi di alun-alun Kota Jember. Kopinya pun ditraktir teman. Pedihnya, tak ada ngapel dalam kamus Wildan. Isi kantong yang cuma bisa buat beli lauk murah meriah membuat dirinya tak percaya diri mendekati perempuan. Lagi pula, orang tuanya meminta dia agar fokus saja pada kuliah.

"Enggak pacaran, cuma ada gitu keinginan," ujarnya.

Di Sidoarjo maupun di Jember, kehidupan Wildan sama-sama susah. Sejak diasingkan ke rusunawa Jemundo, kehidupan warga Syiah Sampang jadi terkatung-katung.

Hidup dalam status sebagai pengungsi bagi mereka adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka tidak pernah berpikir akan meninggalkan rumah dan lingkungan yang sudah mereka tempati sejak lahir. Biasanya jika mereka pergi meninggalkan rumah hanya sementara waktu, baik karena keperluan berlibur, berkunjung ke keluarga yang ada di luar Madura, maupun bekerja di luar kota Sampang atau menjadi TKI di luar negeri.

Namun sejak insiden pembakaran dan pengusiran pada 2012 silam, mereka benar-benar harus meninggalkan rumah dan kampung halaman. Mereka tidak sempat mengemas barang-barang berharga yang dimiliki, termasuk dokumen penting seperti ijazah, akta kelahiran, kartu keluarga, dan dokumen berharga lainnya.

Kategori :

Terpopuler