Pemuda Syiah Sampang: Menumpang di Sidoarjo, Melanglang di Jember

Jumat 31-03-2023,11:12 WIB
Reporter : Rio Alfin
Editor : Reza Al-Habsyi

Wildan bercerita, "Posisi saya waktu itu di dekat rumah sama nenek ngumpet."

"Setelah aksi pembakaran itu datang brimob-brimob ngamanin. Orang-orang yang ngumpet di kebun itu dicari. Habis itu ketahuan, diamanin, setelah itu saya ke rumah sudah ludes enggak ada apa-apanya. Enggak ada sisanya."

"Pakaian cuma yang ada di badan doang. Yang diamanin waktu itu cuma ijazah sama rapor. Mereka (Nahdiyin) enggak ngasih waktu," tutur Wildan.


Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak warga Syiah, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Blu'uran, Sampang, Madura, Senin (27/8/2012).--(Foto: Antara).

Mengadu Nasib di Tapal Kuda

"Kalau saya cuma diam di rusunawa, tanpa melanjutkan pendidikan, enggak ada perkembangan," ucap Wildan ketika ditanya motif ia merantau.

Satu windu setelah peristiwa pilu di Karanggayam, Wildan merantau ke Jember untuk berkuliah. Di sana ia tidak memiliki siapa-siapa selain seorang temannya, Azhar, yang satu tahun lebih dulu merantau. Berbeda dengan Wildan, Azhar orangnya lebih tertutup dan sungkan bercerita banyak tentang keadaan yang mereka alami sebagai pemeluk Mazhab Ja'fari.

Dua pemuda Syiah ini mengaku lebih tenteram hidup di Jember. Meski sebagian besar penduduk di sana adalah Nahdiyin, warganya tak terlalu mau ambil ribut soal perbedaan mazhab. Warga Nahdlatul Ulama (NU) di lingkungan mereka tinggal lebih terbuka, terlebih di sana adalah area kampus. Jember juga merupakan daerah asal salah satu cendekiawan Syiah terkemuka, Muhsin Labib Assegaf–pernah menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Meski bermazhab Syiah, selama kuliah dan menetap di Jember, Wildan dan Azhar akrab dengan lingkungan NU. Kemiripan amaliah membuat dua aliran ini tak kaku bila dipertemukan. Mereka juga tak pernah mengalami diskriminasi di daerah ini.

Satu-satunya tantangan adalah keterbatasan ekonomi. Dalam sebulan, Wildan hanya menerima sangu sebesar Rp 200-300 ribu dari orang tuanya. Jumlah ini jauh dari cukup untuk kebutuhan mahasiswa pada umumnya. Keadaan ini begitu memukul pola hidup Wildan.

"Biasanya Rp 200, 300 (ribu). Ya seadanya orang tua. Kalau saya minta satu juta enggak mungkin juga," ujarnya.

Orang tua Wildan bekerja sebagai pengupas kelapa di lingkungan Rusunawa Jemundo. Penghasilannya tak begitu memadai. Dalam sepekan, orang tuanya hanya memperoleh Rp 500 ribu untuk upah mengupas kelapa. Terkadang hanya sampai Rp 400 ribu. Penghasilan ini didapat jika setiap harinya ada orderan dari pabrik kelapa.

"Itupun enggak kerja tiap hari. Kadang satu Minggu itu kerjanya cuma sekali, kadang dua kali. Menunggu datangnya pesanan kelapa sama menunggu bukanya pabrik," kata Wildan. "Kadang sebulan enggak nyampe sejuta, Rp 500 ribu aja kadang enggak nyampe juga."

Keadaan ekonomi yang tak menentu membuat keluarga Wildan pusing tujuh keliling setiap kali tiba tanggal tua. Bagaimana tidak, di rusunawa, Wildan punya tiga orang adik yang masih sekolah. Semuanya tentu masih membutuhkan tanggung jawab orang tua. Kadang kalau lagi kepepet, Wildan tak dapat kiriman tepat waktu.

Lantas bagaimana bertahan hidup dengan uang Rp 200 ribu dalam sebulan?

"Mau enggak mau saya harus ngirit, Bib. Kadang untuk kebutuhan Rp 5.000 sehari, kadang Rp 10.000 tiga hari," kata Wildan.

Syukurnya, Wildan punya stok beras di kontrakan. Setiap kali pulang ke rusunawa, bekal utama yang perlu di bawa balik ke Jember adalah beras. Ibunya tahu bahwa dia tak punya cukup uang untuk membeli beras. Duit bulanan hanya cukup beli lauk. Jangan harap bisa jajan. Kehidupan pemuda 22 tahun itu lebih ripuh dibanding anak pondok.

Kategori :

Terpopuler